se genteng

Minggu, 30 Juni 2013

Persahabatan sering menyuguhkan beberapa cobaan, tetapi persahabatan sejati bisa mengatasi cobaan itu bahkan bertumbuh bersama. Kerinduannya adalah menjadi bagian dari kehidupan sahabatnya, karena tidak ada persahabatan yang diawali dengan sikap egoistis. Tetapi penghancur persahabatan ini telah berhasil dipatahkan oleh sahabat-sahabat yang teruji kesejatian motivasinnya. Persahabatan tidak terjalin secara otomatis tetapi membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi, demikianlah sahabat menajamkan sahabatnya. Sahabat tidak pernah membungkus pukulan dengan ciuman, tetapi menyatakan apa yang amat menyakitkan dengan tujuan sahabatnya mau berubah. Semua orang pasti membutuhkan sahabat sejati, namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya. Banyak pula orang yang telah menikmati indahnya persahabatan, namun ada juga yang begitu hancur karena dikhianati sahabatnya. Siapa yang ingin bersama kamu pada saat tiada satupun yang dapat kamu berikan??. Merekalah sahabat-sahabat kamu. Apa yang kita alami demi teman kadang-kadang melelahkan dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan mempunyai nilai yang indah. Mempunyai satu sahabat sejati lebih berharga dari pada seribu teman yang mementingkan diri sendiri. Dalam masa kejayaan, teman-teman mengenal kita. Dalam kesengsaraan, kita mengenal teman-teman kita. Ingatlah kapan terakhir kali kamu berada dalam kesulitan. Siapa yang berada di samping kamu??. Siapa yang mengasihi kamu saat kamu merasa tidak dicintai. Pacar bisa saja putus, bahkan keluargapun bisa saling bermusuhan.. Tetapi tidak dengan sahabat, Sahabat tulus tanpa mengharapkan balasan, Tulus tanpa saling ingin menguasai sesama sahabatnya. Proses dari teman menjadi sahabat membutuhkan usaha pemeliharaan dari kesetiaan, tetapi bukan pada saat kita membutuhkan bantuan barulah kita memiliki motivasi mencari perhatian, pertolongan dan pernyataaan kasih dari orang lain, tetapi justru ia berinisiatif memberikan dan mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh sahabatnya. Seorang sahabat tidak akan menyembunyikan kesalahan untuk menghindari perselisihan, justru karena kasihnya ia memberanikan diri menegur apa adanya. Hargai dan peliharalah selalu persahabatan kamu dengan mereka. Karena seorang sahabat bisa lebih dekat dari pada saudara kamu sendiri. Persahabatan diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur-disakiti, diperhatikan-dikecewakan, didengar-diabaikan, dibantu-ditolak, namun semua ini tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian. Kawan aku gak akan ada jika kau tak ada, karenamu aku menjadi berarti dan karenamu juga aku punya alasan untuk terus menatap masa depan, Dan tanpamu aku kosong kerena memang hanya engkau sahabat yang menjadikan diriku manusia lebih bermakna. “Semua orang pasti membutuhkan sahabat sejati, namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya. Banyak pula orang yang telah menikmati indahnya persahabatan, namun ada juga yang begitu hancur karena dikhianati sahabatnya” “Proses dari teman menjadi sahabat membutuhkan usaha pemeliharaan dari kesetiaan, tetapi bukan pada saat kita membutuhkan bantuan barulah kita memiliki motivasi mencari perhatian, pertolongan dan pernyataaan kasih dari orang lain, tetapi justru ia berinisiatif memberikan dan mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh sahabatnya” “Seorang sahabat tidak akan menyembunyikan kesalahan untuk menghindari perselisihan, justru karena kasihnya ia memberanikan diri menegur apa adanya” “Sahabat tidak pernah membungkus pukulan dengan ciuman, tetapi menyatakan apa yang amat menyakitkan dengan tujuan sahabatnya mau berubah” “Persahabatan diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur-disakiti, diperhatikan-dikecewakan, didengar-diabaikan, dibantu-ditolak, namun semua ini tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian” “Persahabatan tidak terjalin secara otomatis tetapi membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi, demikianlah sahabat menajamkan sahabatnya” “Apa yang kita alami demi teman kadang-kadang melelahkan dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan mempunyai nilai yang indah” “Persahabatan sering menyuguhkan beberapa cobaan, tetapi persahabatan sejati bisa mengatasi cobaan itu bahkan bertumbuh bersama” “Persahabatan tidak terjalin secara otomatis tetapi membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi, demikianlah sahabat menajamkan sahabatnya” “Persahabatan diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur-disakiti, diperhatikan-dikecewakan, didengar-diabaikan, dibantu-ditolak, namun semua ini tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian” “Seorang sahabat tidak akan menyembunyikan kesalahan untuk menghindari perselisihan, justru karena kasihnya ia memberanikan diri menegur apa adanya Semoga kutiapan kata mutiara persahabatan ini bermanfaat
Cinta Tak Direstui Ibu Bapak Dari segala yang datang pada diri ini, aku tak tau kenapa aku tak bisa melupakan apa yang pernah kita lakukan dahulu kala, saat yang bisa jadi hal terbodoh kita tapi aku cinta sama kamu. Di awal jumpa kita itu adalah hal yang selalu aku ingat dan tak mungkin aku lupakan karena perjumpaan di sebuah kereta di situ juga aku merasa bodoh dan senang. “awas hp kamu di curi orang” tegor ku saat ia mengeletakkan hp di samping kursinya Awal pembukaan percakapan kami, awal nya dia hanya jutek melihat aku. Tapi setelah ternyata dia salah tempat duduk dan ternyata dia duduk di depan kedua bola mataku. Awal nya sih dia diam saja kepada ku maklum fikirnya orang asing. Tapi lama kelamaan dia mau aku ajak berbicara dan bercanda. Hingga sebuah hal konyol hadir, seseorang yang tidur di samping ku tiba-tiba memukul ku tanpa sebab. “eh, maaf mas aku tadi mimpi bertengkar sama istri aku jadi terbawa sekali lagi maaf” dengan perasaan bersalah “iya, nggak apa-apa kok mas” sambil memegang pipi yang semakin membiru Aku merasa kesakitan, tapi dia malah tertawa terbahak-bahak. Melihat apa yang baru saja terjadi pada diriku, tapi entah mengapa aku juga ikut tersenyum melihat dia tertawa mungkin terbawa suasana. Sebelum dia meninggalkan kereta kami saling bertukar nomor telpon. Tak berapa lama hp ku berdering dan bernama kan TIRA langsung saja aku angkat telpon tersubut “hati-hati di jalan iya” ucapnya dalam percakapan singkat itu Sebulan kemudian aku berjumpa lagi dengannya. Tapi aku sembunyi-sembunyi untuk menemuinya karena kakak nya tak setuju kalau ada orang asing yang mendekatinya. Selama pertemuan itu kami saling bertukar fikiran tentang pelajaran. Tapi hati ini ada perasaan yang mengganjal setiap dekat dia entah apa tapi merasa nyaman kalau dekat dia. Entah kesekian kali kami bertemu aku baru berani menyatakan cinta kepadanya. Ternyata dia juga merasakan apa yang aku rasakan dia juga cinta kepadaku. Dan saat itu juga aku memberanikan diri untuk bertemu keluarganya. Awal nya dia tak setuju karena takut kalau aku kena marah. Tapi aku meyakinkannya agar aku bertemu dan bilang ke keluarganya. Akhirnya dia mau dan kami meluncur kekediamannya. Tapi baru melangkah di gerbang rumahnya aku langsung di marahi dan di suruh pergi karena mereka tak mau kalau dia pacaran dengan aku. “kamu itu tak punya apa-apa toh kamu juga siapa kami tak kenal dan di sini saya harap kamu tak usah ganggu dia lagi” ujar kakak nya marah kepada ku. Awal nya aku shock mendengar perkataan kakaknya tapi dengan tekat yang kuat agar kami bisa di setujui kami merencanakan sesuatu agar di setujui. Kami masih saling bertemu untuk melepas rindu walau rumah ku dan rumah nya jauh dengan kekuatan cinta kami itu bukanlah halangan. Ternyata selama kami bertemu ada utusan kakaknya untuk membuntuti setiap kemana kami pergi. Awalnya kami tak menyadarinya dan tak percaya dia meminta bukti yang real tapi saat kakaknya memberikan sebuah foto yang menunjukan kemesraan kami di barulah kami percaya. Dan sejak itu kami semakin sulit untuk bertemu sampai suatu ketika karena tak kuasa mebahan rasa rindu itu dia pergi ke rumah ku. Betapa terkejut aku saat melihat dia berada di depan rumahku. Dan tak tau apa yang harus aku lakukan dan aku langsung menyuruhnya masuk dan dia menceritakan semua kejadian setelah itu. Keesokan harinya aku berniat mengantarnya pulang tapi dia tak mau pulang karena takut sama kakaknya. Aku urungkan niatku karena merasa kasian sama dia yang meminta ku agar tak mengantarnya pulang dan dia masih rindu kepadaku. “kita jalan aja yuk beibh biar nggak stres” ajak ku mencairkan suasana Dia hanya menganggukan kepala dengan muka lesu. Saat aku mau pulang tiba-tiba hp ku berdering krrinngg dan menujukan nama MOTHER “hallo ada apa ma” tanya ku heran karena tak biasa nya nelpon toh tadi sudah pamit “cepat pulang ada yang mencarimu kata nya penting” jawab nya singkat dan di matikan telpon tersebut. Aku heran melihat mama seperti itu tapi apa daya kalau orang tua menyuruh pulag. Akhirnya kami pulang dan betapa terkejutnya aku melihat rumah ku ramai dengan kendaraan. Saat aku mobilku masukin halaman rumah aku langsung di sergap oleh oknum berseragam. “ini pak yang sudah membawa adik saya, tangkap saja pak dasar brengsek kamu jadi orang” ujar kakak nya yang marah kepada ku “sttoooppp apa-apaan ini, dia tidak membawaku lari tapi aku yang kesini sendiri yang seharus nya di tangkap itu kamu karena kamu memperlakukan adik bukan selayaknya adik tapi seperti pembantu. Aku sayang dengan dia, aku cinta dengan dia kalau kamu mau melihat adik mu bahagi biarkan adik mu merasakan indahnya cinta. Tapi sebalik nya” Aku hanya terdiam dengan tanganku terborgol. Aku tak kuasa mehanan semua ini hingga aku berontak. “lepaskan aku disini sebagai pria sejati, aku sungguh sayang dengan dia dan aku tak kan membuatnya terluka toh kamu sudah tau dimana rumahku dan kamu sudah tau keluargaku” Tapi kakaknya bersih kukuh untuk membawaku ke kantor polisi tapi salah seorang polisi yang berpangkat tinggi mencegah. “ini kasus bukan penculikan tapi sang wanita yang sengaja kesini dan kami sebagai oknum tak kan membawa dia ke kantor, lepaskan dia. Tapi sebalik nya kamu yang harus kami tangkap karena sudah membuat laporan palsu dan menjelek-jelek kan martabat orang” ujar seorang polisi tersebut “sudah pak jangan di perpanjang masalah ini kami sekeluarga tak akan membuat kasus yang merugikan kami” Setelah saat itu dia dibawa kakaknya dan kami tak pernah bertemu lagi sampai sekarang. Entah kemana dia tapi aku selalu mencarinya. Hingga aku mendapat kabar kalau dia sudah di nikahkan dengan seorang yang tak dia cinta dan pernikahan itu adalah paksaan kakaknya. SUMBER sholihin sabay

nasib

Selasa, 02/04/2013 13:34 WIB Cinta Tak Direstui, Pasangan Akhirnya Menikah Setelah 60 Tahun Eny Kartikawati - wolipop 7 Komentar ist. Jakarta - Kisah cinta tak direstui pasangan ini berakhir bahagia. Namun akhir bahagia itu baru terjadi 60 tahun setelah keduanya terpaksa berpisah karena tak adanya izin dari kedua orangtua untuk menjadi pasangan kekasih. Pasangan itu adalah Eileen dan Warner Billington asal Inggris. Keduanya pernah menjadi sepasang kekasih saat masih remaja. Foto kebersamaan mereka dalam versi hitam putih yang dibuat pada 1950 kini terpajang di ruang tamu rumah. Melihat foto itu, orang-orang bisa berasumsi, Eileen dan Warner sudah bersama sejak lama. Padahal pasangan berusia 78 dan 79 tahun itu baru menikah selama dua tahun, setelah 60 tahun terpisah. Saat masih remaja, Eileen terpaksa putus dari Warner karena ayahnya tidak memberi restu. Sang ayah beralasan usianya yang ketika itu baru 18 tahun, dianggap terlalu muda untuk menikah. Setelah putus, keduanya memilih melanjutkan hidup. Dikutip Daily Mail, Eileen dan Warner sama-sama menikah dengan orang lain. Pada 1956, Eileen menikah dengan Jack Lenton. Keduanya dikaruniai dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Jack meninggal 2006 lalu. Sedangkan Warner menikah dengan Gillian pada 1957. Mereka memiliki tiga anak dan menjalani pernikahan selama 53 tahun hingga Gillian meninggal pada 2010. Meskipun sudah menikah dan tidak pernah berhubungan atau kontak dengan Warner, Eileen tetap menyimpang kenangannya bersama pria tersebut. Dia meminta adiknya untuk menyimpan foto kebersamaannya dengan Warner, karena takut suaminya merusak foto tersebut. Setelah 60 tahun berlalu, Eileen dan Warner sama-sama sudah menjadi duda dan janda. Keduanya bertemu lagi dengan bantuan beberapa teman. Usia lanjut tidak membuat keduanya kehilangan harapan untuk kembali mencintai. Ketika bertemu muka lagi, mereka menyadari masih ingin bersama. Mereka akhirnya menikah. "Kami berdua sering berpikir apa yang mungkin terjadi jika segala sesuatunya terjadi berbeda. Tapi kami sekarang bersama. Kami sama-sama sehat dan fit di usia sekarang ini dan ingin melihat ke masa depan, bukan masa lalu," ujar Warner yang menikahi Eileen pada 6 Desember 2011.

Jumat, 28 Juni 2013

Tafsir Tematik :Ayat –Ayat Nikah ( Hakekat, Tujuan dan Hikmahnya ) Oleh sholihin sabay Latar Belakang Pernikahan merupakan sebuah fitroh manusia. Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan untuk saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lain. Sebagai makhluk sosial manusia secara praktis tidak dapat hidup sendiri. Secara biologis, manusia berkebutuhan untuk menyalurkan hasrat yang sudah menjadi fitrah basyariyah-nya. Oleh karenanya, Islam memberikan anjuran untuk menikah sebagai suatu sunnah dan sebagai sarana untuk mendapatkan ketentraman lahir dan batin. Selain itu, kebutuhan biologis manusia juga dapat terpenuhi secara halal, sah dan mendatangkan berkah melalui pernikahan. Pernikahan memang perkara yang sakral. Karenanya menikah bukanlah sekedar mencari tempat untuk bersenang-senang. Melainkan sebuah ikatan suci yang harus dijaga dan merupakan janji yang agung. Meski Al Qur’an menyebut pernikahan sebagai “mitsaqan ghalidhan”, pernikahan tidaklah seberat yang para rahib_ pendeta_ pikirkan, tetapi bukan pula sekedar penghalalan ‘koitus’ antar laki-laki dan perempuan saja. Islam memberikan jalan keluar akan kesulitan-kesulitan yang dihadapi pemeluknya. Jika hasrat biologis manusia mulai meminta untuk dipenuhi, menikah adalah solusinya. Islam tidak mengharuskan pemeluknya untuk membujang. Bahkan “membujang” adalah perkara yang di-makruh-kan. Legalisasi hubungan antara laki-laki dan perempuan melalui pernikahan merupakan jalan yang disyari’atkan. Islam melarang perzinaan. Sebab zina adalah jalan yang salah dan sesat. Di samping itu, pelarangan zina merupakan representasi dari maqasidus syari’ah yakni “hifdzun nasl”. Rumusan Masalah Berawal dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah : 1. Apa pengertian nikah itu? 2. Apa saja ayat-ayat Al Qur’an yang membahas tentang pernikahan? 3. Bagaimana hukum pernikahan itu? 4. Apa tujuan dan hikmah pernikahan? Tujuan Penulisan Betolak dari rumusan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian nikah, memahami ayat-ayat yang membahas tentang pernikahan, serta mengetahui hukum, tujuan dan hikmah pernikahan itu sendiri. Metode Penulisan Penulisan makalah ini menggunakan metode tematik, dengan mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang bertema sama, kemudian menyusunnya dalam sebuah kajian tafsir maudhui. Dengan menguraikan isi kandungan ayat-ayat tersebut untuk mengambil kesimpulan atas pesan yang disampaikan. Kemudian mengumpulkan data sekaligus menguraikan apa yang terdapat dalam disiplin ilmu al Qur’an seperti asbabun nuzul, munasabah, qira’at, muhkam mutasyabihnya dan lain sebagainya. Setelahnya baru menarik kesimpulan dari ayat-ayat yang ditafsiri tersebut untuk menjawab permasalahan. PEMBAHASAN A. Pengertian Nikah Term “ nikah” berasal dari bahasa Arab “ nakaha-yankihu-nakhan” yang artinya mengumpulkan, diartikan bersetubuh. Di dalam Al Qur’an term ini disebutkan beberapa kali, adapun ayat-ayat Al Qur’an yang secara khusus membicarakan tentang “ anjuran menikah “ terdapat dalam 4 ayat yang terangkum dalam 3 surat yakni : ( 4;3 ), ( 24;3,32 ) dan ( 30;21 ). Ulama Syafi’iyah memberikan pengertian bahwa nikah adalah : عقد يتظمن اباحة وطء بلفظ انكاح اوتزويج “Nikah adalah akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau za-wa-ja” ( Al Mahally: 206 ) Ulama-ulama terdahulu lainnya sebagaimana ulama syafi’iyah memberikan definisi yang begitu pendek dan sederhana. Mereka hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan, yaitu kebolehan melakukan “koitus “ setelah berlangsungnya perkawinan itu. Akan tetapi ulama kontemporer memperluas jangkauan definisi yang disebutkan ulama terdahulu. Diantaranya adalah yang diungkapkan oleh Dr. Ahmad Ghandur dalam bukunya Al Ahwal Al Syakhsiyah fi Tasyri’il Islamy, pernikahan adalah : Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban. Dari pemaparan beberapa definisi yang diungkapkan oleh ulama-ulama terdahulu maupun ulama kontemporer menemui titik persamaan dan adanya sedikit perbedaan. Jika ulama klasik mendefinikan nikah sebatas akad yang membolehkan “ koitus” antara laki-laki dan perempuan secara sah. Maka ulama kontemporer memperluas pengertian tersebut menjadi sebuah akad yang berupa perbuatan hukum dan akan menimbulkan akibat hukum yang mengikat pelakunya. Termasuk akibat hukumnya adalah munculnya hak dan kewajiban suami istri. B. Kajian Ayat-Ayat Bertema Nikah Di dalam al Qur’an banyak ayat-ayat yang bertemakan pernikahan. Dalam kajian tafsir maudhui ini dibatasi pada ayat-ayat bertemakan pengertian dan anjuran nikah. Oleh sebab itu, ayat-ayat nikah yang disebutkan dalam makalah ini hanyalah ayat yang mengenai anjuran nikah, bukan prosedur maupun larangan-larangannya. Adapun ayat-ayatnya adalah : Ayat pertama, menerangkan dan menguraikan tentang perkembangbiakan manusia serta bukti kuasa dan rahmat Allah swt. yakni QS Ar Ruum: 21 :             ••   •       “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”( QS Ar Ruum : 21 ) Ayat ini melanjutkan pembuktian yang lalu dengan menyatakan bahwa :”Dan juga diantara tanda-tanda kekuasaanNya adalah Dia menciptakan untuk kamu secara khusus pasangan-pasangan hidup (suami atau istri ) dari jenis kamu sendiri, supaya kamu tenang dan tentram serta cenderung kepadanya, yakni kepada masing-masing pasangan itu”. Ayat 20 surat Ar Ruum menjelaskan bahwa manusia itu tersebar, dan ayat 21 memberikan gambaran dan cara bagaimana manusia tersebar, yakni dengan memperoleh anak melalui jalan pernikahan. Perkawinan itu juga merupakan sunnah Rasul yang pernah dilakukannya selama hidupnya dan menghendaki umatnya berbuat yang sama. Hal ini terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhory dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik bahwa Nabi sendiri melakukan shalat, tidur, berpuasa, berbuka, dan beliau mengawini perempuan juga. Maka barang siapa yang tidak senang dengan sunnahnya maka ia bukanlah termasuk dari golongannya. Sementara ulama menterjemahkan kata ازواج pada ayat ini-diartikan sebagai istri-istri. Menurut dugaan mereka, kata ilaiha yang menggunakan bentuk kata ganti feminin menunjuk pada perempuan, dan kata lakum menunjuk pada maskulin. Sehingga ayat ini dipahami sebagai ayat yang tertuju pada laki-laki, khususnya adalah suami. Pemahaman ini kurang dirasa tepat. Kerena bentuk feminin pada kata ilaiha menunjuk pada azwaj dalam kedudukannya sebagai jamak. Sementara dalam aturan bahasa Arab adalah “ kullu jam’in muannasun”.Yang dimaksudkan adalah pasangan baik pria maupun wanita. Pernyataan “ min anfusikum azwajan “, secara bahasa artinya adalah “ dari jenismu sendiri “. Interpretasi awal mengenai frase ini tidak lain adalah Hawa diciptakan dari Nabi Adam. Selanjutnya ulama lain menafsirkan bahwa “ min” adalah “min” yang menunjukkan arti permulaan. Sedangkan ‘ anfus’ merupakan majaz dari “ jinsi”. Sehingga pemaknaan ayat tersebut sebagaimana penafsiran kedua adalah “diciptakannya istri-istri bagi kalian dari jenismu sendiri”. Maksud dari pernyataan “ li taskunu ‘ilaiha” adalah ketenangan dan ketentraman hati. Dimana arti asalnya menurut ar Razy adalah diam. Tetapi diam disini tidak dimaknai sebagai diam yang bersifat jasadi, sebab diam yang bersifat jasadi menggunakan term ‘sakana ‘inda’. Sedangkan yang dipakai di sini adalah “sakana ila”, yang ghayah-nya adalah hati. Dari sini agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan pria dan wanita, serta diarahkannya pertemuan itu sedemikian rupa sehingga terlaksana apa yang dinamai ‘perkawinan’ guna mengusir keterasingan dan beralihnya kerisauan menjadi ketentraman. Ayat keduanya adalah QS. An Nisa : 3 yang membahas tentang larangan berlaku aniaya terhadap anak yatim serta adanya anjuran menikah, yaitu :                                “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil , Maka (kawinilah) seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” ( QS.An Nisa’: 3 ) Ayat ini termasuk dalam golongan ayat Madaniyah, sebab secara keseluruhan Surat An Nisa’ adalah Surat Madaniyah. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam shahih-nya dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah R.a bahwa ada seorang lelaki yang memiliki seorang anak perempuan asuh yatim, lalu dia menikahinya. Anak yatim itu memiliki harta dan ia menahan anak itu untuk tidak nikah selain dengan dirinya,dan dia tidak mendapatkan apa-apa dari lelaki tersebut. Maka turunlah ayat ini. Ayat ini memiliki keterkaitan secara Lafdzy (yakni lafadz al yatama) dan ma’nawy dengan ayat sebelumnya. Jika ayat sebelumnya menjelaskan tentang larangan menahan harta anak yatim dan menguasai pribadi serta hartanya. Lafadz أن لا تقسطوا فى اليتمى identik dengan perlakuan tidak adil pada ayat sebelumnya. Dan pada akhirnya ayat ini menjadi sebuah solusi atas ayat sebelumnya. Sebagai ayat yang menghubungkan ayat ke-2 dan ke-4, penyebutan “ al yatama” dan “ nikahun nisa” menurut sebagian ulama disamakan maknanya. Sebab keduanya sama-sama memiliki sifat lemah. Pada ayat kedua, bersinggungan dengan anak yatim. Sedang pada ayat ke-4 ayat ini terkait dengan perkara mahar yang dibicarakan dalam pernikahan. Di sisi lain, jika ditinjau dari segi asbabun nuzul-nya ada seorang wali yang menikahi wanita yatim yang berada dalam ampuannya tanpa berbuat adil dalam memberikan mahar. Ayat ini dan sesudahnya memberikan solusi berumahtangga yang damai, adil terhadap istri serta adab pemberian mahar. Ayat di atas menggunakan kata (تقسطوا) dan kata (تعدلوا) yang keduanya diterjemahkan “adil”. Ada ulama’ yang mempersamakan maknanya, ada juga yang membedakannya dengan berkata bahwa تقسطوا adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang menjadikan keduanya senang. Sedangkan تعدلوا maknanya berlaku adil baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, tapi keadilan itu bisa saja tidak menyenangkan bagi salah satu pihak. Firman Allah: “ Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”. Ibnu Jarir berkata dalam tafsirnya bahwa para ahli tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Pertama, maknanya adalah jika mereka (para wali anak-anak yatim) tidak bisa berlaku adil dalam memberikan mahar dan tidak bisa memberikan mahar sebagaimana yang diberikan kepada wanita-wanita lain semisal mereka, maka janganlah menikahi mereka tapi nikahilah wanita-wanita lain selain mereka. Kedua, menurut Abu Ja’far maknanya adalah larangan untuk menikah lebih dari empat, sebagai peringatan agar tidak terjadi pelanggaran harta anak yatim yang dirusak oleh para walinya. Alasannya orang-orang Quraisy ada yang menikah dengan sepuluh wanita ada yang lebih ada pula yang kurang. Jika kehabisan harta maka ia akan bersandar pada anak yatim yang bisa memberinya nafkah atau dia menikah dengannya, lalu menguasai hartanya. Sementara itu, menurut para ahli Tafsir yang lain ketakutan dalam urusan harta anak yatim seyogyanya dimaknai sama dengan ketakutan untuk berbuat zina dengan wanita-wanita itu. Sehingga menikah adalah solusi atas ketakutan berbuat zina tersebut. Menurut Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah-nya bahwa penyebutan dua, tiga atau empat pada hakikatnya bukanlah perintah atau peraturan tentang poligami. Sebab poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai agama dan telah menjadi tradisi masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Ayat ini tidak mewajibkan poligami, tidak juga menganjurkannya. Hanya saja membolehkan poligami dengan memberikan persyaratan yang tidak bisa dianggap ringan. Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam Al Qur’an hendaknya tidak hanya ditinjau dari segi ideal atau baik buruknya saja, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi. “ fain khiftum an laa ta’dilu fawahidatan “, yang dimasud ‘adil’ dalam penggalan ayat ini adalah adil dalam hal nafaqah dan giliran, tetapi bukan dalam hal kecondongan hati atau cinta. Oleh karenanya, monogami akan lebih baik dari pada poligami, jika hal tersebut dapat menimbulkan ketidakadilan dan kedhaliman. Ayat selanjutnya adalah An Nur ayat 3, yang di dalamnya mengandung penjelasan keharusan menghindari pezina dalam memilih calon istri maupun calon suami. Sebagaimana tertera dalam lafadznya, yaitu : •       •             “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin ” ( QS.An Nur: 3 ) Ayat ini adalah bagian dari Surah An-Nur yang turun pada periode Madinah. Keadaan ini dapat difahami dari ayat-ayat yang panjang dan kandungannya berupa hukum-hukum Islam yang terperinci. Para mufassir mengatakan bahwa QS. An-Nur: 3 turun berkenaan dengan para kaum muhajirin berangkat ke dari Makkah ke Madinah sebagian mereka adalah orang-orang fakir, dan di Madinah terdapat perempuan pezina kaya yang menjual diri mereka. Sehingga beberapa fakir muhajirin menginginkan harta mereka. Mereka berkata “Seandainya kita menikahi mereka maka Allah akan memberikan kekayaan melalui mereka”. Kemudian mereka meminta izin kepada Nabi, maka turunlah ayat ini. Dalam dalam riwayat imam Nasa’i yang berasal dari Abdullah bin Umar dikemukakan bahwa Ummul Mahzul, seorang wanita pezina, akan dikawini oleh seorang sahabat Nabi SAW. Maka turunlah ayat ini (QS. An-Nur: 3). Dari beberapa literatur yang menjelaskan tentang asbabun nuzul ayat ini, memiliki kesamaan esensi yaitu tidak pantasnya seorang yang pezina untuk menikah dengan muslim yang baik. Setelah menjelaskan tentang hukum terhadap pezina, ayat ini (an Nur: 3) mengemukakan keharusan menghindari pezina. Kemudian pada ayat keempat Allah menjelaskan tentang keburukan dan ancaman bagi orang yang menuduh dan mencemarkan nama baik seorang wanita terhormat, karena akibat tuduhan itu ia akan dianggap sebagai orang yang memiliki aib yang hina dan akhlak buruk yang selanjutnya akan tersisihkan dari masyarakat. Ulama berbeda pendapat tentang pengertian nikah (ينكح) pada ayat ke-3. Sebagian berkata maksud yankihu adalah hubungan badan, pendapat yang lain menyatakan bermakna akad nikah dengan alasan adanya kata musyrik dan musyrikah yang menunjukkan tidak sahnya akan nikah sebagaimana tidak sahnya menikah dengan orang musyrik (al-Baqarah: 221). Sebagian ulama berpendapat bahwa An-Nur ayat 3 dinasakh dengan ayat 32 dari surah yang sama. Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa seseorang yang berzina boleh menikah dengan pasangan zinanya ataupun orang lain. Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa ayat ini mansukh. Sehingga jika seorang suami berzina maka nikahnya tidak batal dan begitu pula istri jika malakukan perbuatan keji ini. Akan tetapi, sebagian ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa ayat 3 tiga tidak dinaskh, dan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut tetaplah berlaku. Adapun kandungan ayat ini adalah konsep kafaah. Kafaah dalam pengertian mudahnya adalah keadaan setara antara seorang laki-laki dengan wanita yang akan menjadi teman hidupnya. Mukafaah dapat di tinjau dari berbagai aspak; ekonomi, profesi, keturunan, agama. Jika memperhatikan an-Nur: 3, dapat difahami bahwa kafaah yang ditekankan adalah tentang akhlak. Pezina adalah orang yang dianggap hina, maka tidak pantas orang hina berpasangan kecuali dengan orang hina pula atau dengan orang musyrik karena kemusyrikan lebih jelek daripada perzinahan. Pencantuman kata musyrik pada ayat, bukanlah menunjukkan kebolehan pernikahan seorang muslim dengannya. Tetapi hanya serbatas penekanan akan jeleknya perzianaan. Karena itu pernikahan muslim dengan musyrik adalah keharaman yang mutlak. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata “as shalihina” pada ayat yang berarti orang yang taat beragama, dan ada pula yang mengartikan memiliki kemampuan untuk membangun rumah tangga secara mental dan spiritual. Jika mengambil pendapat pertama maka hal itu sesuai dengan sabda Nabi yang berkenaan dengan kriteria dalam mencari pasangan dengan memberikan standar penilaian yaitu baiknya agamanya dan juga terkait erat dengan masalah kafaah. عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ Telah dikemukakan sebelumnya bahwa jika ayat ini mansukh, maka tidak berlaku secara mutlak hukum yang terkandung. Artinya seseorang boleh menikah dengan orang lain baik yang taat maupun yang pezina dan tidak ada persyaratan bagi pezina hanya boleh menikah sesamanya. Pendapat lain mengatakan bahwa ayat tersebut mansukh, akan tetapi pernikahan orang taat dengan pezina hukumnya makruh. Jika ayat tersebut berlaku maka seseorang haram menikah dengan pezina. Pezina hanya bolah menikah sesamanya dan pernikahan orang yang melakukannya hukumnya batal. Pendapat lain yang mengatakan bahwa ayat tersebut berlaku, akan tetapi hanya boleh menikahi atau dinikahi pezina yang telah bertaubat. Dari panjelasan yang ada dapat difahami bahwa adanya ketidaksekufuan antara orang yang tidak berzina dengan orang yang melakukannya dalam pernikahan, sehingga memunculkan ketidakpantasan di antara keduanya. Baik ketidakpantasan itu hukumnya makruh ataupun haram. Ayat berikutnya adalah An Nur ayat 32. Isinya menjelaskan tentang perintah bagi para pemilik budak atau wali untuk memelihara diri mereka dan budaknya dari perbuatan hina. Artinya perintah untuk menjaga kesucian diri dan orang lain.                     “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian , diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” ( QS.An Nur:32 ) Dua ayat sebelum an-Nur:32 menjelaskan tentang perintah untuk laki-laki dan perempuan untuk menjaga kesucian diri dan jiwa, kemaluan, serta menutup aurat. Sedangkan pada ayat tersebut merupakan perintah bagi pemilik budak dan wali untuk menjaga budak dan yang dibawah perwalian mereka untuk menjaga ke sucian mereka juga. Ar-Razi menjelaskan bahwa setelah perintah untuk menjaga kesucian berupa larangan dari hal-hal yang diharamkan, maka pada ayat tiga puluh dua ini Allah menjelaskan jalan yang diperbolehkan yaitu menikah. Pada ayat selanjutnya menerangkan tentang ketidakmampuan untuk menikah. Quraish Shihab dan ar-Razi dalam menjelaskan munasabah ayat sama-sama mengungkapkan bahwa nikah adalah sarana untuk mencapai kesucian, walaupun melalui ungkapan yang berbeda. Makna “ankihu” (أنكحوا) adalah nikahkanlah karena menggunkan hamzah qath’i yang berarti perintah bukan untuk orang yang menikah. Tapi berlaku luas bagi seluruh wali atau yang memiliki laki dan perempuan (yang sudah waktunya menikah) untuk menyegerakan, mempermudah, meringankan pernikahannya. Kata al-ayaama ( الأيامى) adalah jamak dari al-ayyamu (الأيّم) yang berarti seseorang laki-laki merdeka yang tidak mempunyai istri atau seorang perempuan merdeka yang tidak punya suami . Baik mereka sudah menikah atau belum. Dalam istilah Indonesia dikenal dengan istilah lajang. As-shalihin (الصالحين) artinya memiliki kemampuan untuk melaksanakan pernikahan dengan segala ketentuan yang ada didalamnya. Jadi hanya budak yang telah memiliki kemampuan untuk berumahtangga . Kandungan ayat ini adalah tentang kedudukan wali dalam pernikahan serta hikmah pernikahan itu sendiri. Wali dalam pengertian umum adalah orang yang berwenang terhadap orang lain. Istilah wali dalam akad pernikahan ialah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan. Wali yang utama adalah ayah dari mempelai perempuan karena kedekatannya sebagai orang tua yang lebih faham tentang anaknya, kemudian baru dari keluarga yang lain. Surah an nur: 32 mengingatkan kembali salah satu kewajiban wali/orang tua yaitu menikahkannya jika dianggap telah layak dengan kata angkihu (أنكحوا). Terkhusus bagi wali - dalam istilah pernikahan - dan keluarga wanita untuk tidak mempersulit seorang laki-laki yang datang untuk melamar. Di masyarakat kadang hal ini terjadi dengan meninggikan mahar dengan memperkirakan jumlah yang tidak mampu disediakan oleh mempelai laki-laki ataupun dengan alasan yang lain. Kecuali jika mahar yang besar telah menjadi budaya dalam suatu masyarakat dan tidak meninggikan mahar disini bukan berarti murah yang murahan. Padahal Nabi telah memperingatkan hal itu: إذا جاءكم مَنْ ترضون دينه وخلقه فزوِّجوه، إلاَّ تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد كبير ". “Jika datang – seorang laki-laki melamar – yang menurutmu baik agama dan akhlaknya maka nikahkanlah, jika tidak akan menjadi fitnah bagimu di dunia dan kecelakaan yang besar.” Wali adalah orang yang memiliki andil dalam menetukan kebahagian rumah tangga pernikahan khususnya dari pihak wanita. Sehingga jika telah menemukan seorang yang sekufu maka hendaknya menikahkan dengan wanita yang menjadi perwaliannya. Salah satu hikmah nikah yang dijelaskan dalam surah an nur:32 adalah janji kekayaan bagi seseorang yang menikah kerena mengharap ridho Allah dan menjaga diri dari kejelekan. Hal ini juga dibenarkan nabi: ثَلاَثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُ الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِى يُرِيدُ الأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِى يُرِيدُ التَّعَفُّفَ “Ada tiga kelompok orang yang berhak mendapatkan pertolongan Allah: mujahid di jalan Allah, orang yang menikah yang menjaga kehormatan, dan budak yang menginginkan kemerdekaan.” Kekayaan dalam hal ini tidak hanya berupa harta benda saja. Jadi sangat memungkinkah seseorang yang telah menikah tidak terlalu berbeda ekonominya saat sebelum menikah. Yang utama adalah kekayaan hati. Realita di masyarakat memperlihatkan bahwa sebagain pasangan yang bersungguh-sungguh membangun rumah tangga, mampu membiayai kebutuhan anak dan keluarganya walaupun sebelum menikah tidak memiliki penghasilan yang banyak. Pada bagian masyarakat lainnya tidak mengalami peningkatan keuangan yang mencolok, akan tetapi pemikiran dan tindakan mereka menjadi lebih dewasa. Seseorang yang telah membangun rumah tangga akan mandapatkan motivasi yang membuatnya mengerahkan kemampuan yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, inilah modal kekayaan yang sangat besar dan merupakan semangat hidup yang sangat berharga. C. Hukum Pernikahan Dengan melihat pada pesan yang disampaikan ayat-ayat di atas, bahwa hakikat dari pernikahan adalah akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang asalnya tidak dibolehkan. Maka boleh diartikan bahwa hukum pernikahan asalnya adalah mubah. Oleh karena pernikahan itu dilaksanakan oleh Rasulullah semasa hidupnya, maka nikah merupakan sunnah Rasul. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhory dalam shahihnya, dari anas bin Malik terkait dengan ayat anjuran nikah di atas. Di dalam Al Qur’an pun Allah banyak menyeru untuk menikah dalam firman-firman-Nya, sebagaimana ayat-ayat yang telah disebutkan di atas. Dengan banyaknya anjuran-anjuran untuk menikah tersebut, dapat dimaknai bahwa pernikahan merupakan perbuatan yang lebih disenangi oleh Allah dan RasulNya. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum asal nikah. Di satu sisi mengatakan bahwa nikah asalnya adalah sunnah. Sebab banyaknya anjuran untuk melakukannya yang terdapat dalam hadits Rasulullah. Namun seruan al Qur’an maupun sunnah tidak mengandung makna wajib. Jumhur ulama menyatakan hukum perkawinan dengan melihat pada keadaan orang-orang tertentu : yakni Sunnah, bagi yang berkeinginan untuk menikah dan mampu untuk melakukannya; Makruh, bagi yang belum mampu, dan belum pantas untuk menikah; Wajib, bagi yang sudah pantas untuk menikah, punya bekal dan mampu serta takut terjerumus dalam kenistaan karena berbuat hina; Haram, bagi mereka yang tidak dapat memenuhi tuntutan syara’ ; Mubah, bagi yang sebenarnya tidak begitu berkeinginan untuk menikah, dan dengan tidak menikahnya itu tidak mendatangkan kemudharatan bagi siapapun. D. Tujuan dan Hikmah Pernikahan Telah tersebutkan dalam surat Ar Ruum ayat 21 bahwa tujuan pernikahan adalah agar kedua mempelai mendapatkan ketentraman, saling cinta mencintai serta saling mengasihi satu sama lain. Agar kerisauan dan keterasingan itu berganti menjadi ketenangan dan kebahagiaan. Serta yang terpenting adalah untuk melangsungkan keturunan yang sah, sebagai generasi penerus. Hikmahnya adalah untuk menjaga kehormatan diri agar tidak terjerumus dalam kenistaan. Selain itu hikmah yang lain adalah hidup menjadi lebih teratur , lebih tenteram, dan semangat hidup menjadi bertambah. ( Lihat; An Nur: 32 ) Kesimpulan Term “ nikah” berasal dari bahasa Arab “ nakaha-yankihu-nakhan” yang artinya mengumpulkan, diartikan bersetubuh. Di dalam Al Qur’an term ini disebutkan beberapa kali, adapun ayat-ayat Al Qur’an yang secara khusus membicarakan tentang “ anjuran menikah “ terdapat dalam 4 ayat yang terangkum dalam 3 surat yakni : ( 4;3 ), ( 24;3,32 ) dan ( 30;21 ). Pernikahan adalah : Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban. Surat Ar Ruum: 21 menjelaskan tentang cara manusia tersebar melalui pernikahan, setelah ayat sebelumnya menjelaskan tentang perkembangbiakan manusia. Dari sini terlihat jelas bahwa dengan menikah ketentraman akan terwujud dan kelangsungan hidup manusia akan terus ada tanpa harus mengalami kekurangan spesies atau kepunahan. Pada ayat selanjutnya ( An Nisa:3 ), dijelaskan di dalamnya prosedur pernikahan sebagai sebuah solusi. Dimana solusi tersebut menyelesaikan problem para wali ( orang tua asuh ) yang mengasuh anak-anak yatim perempuan dan takut berlaku tidak adil terhadap mereka. Dengan menimbang asbabun nuzulnya, ayat ini merupakan jalan keluar atas permasalahan pada saat itu. Dimana banyak laki-laki dewasa yang mengasuh anak yatim yang berharta, lalu mereka menikah dengannya dengan tujuan istrinya yang menafkahinya dan dia pun tidak memperhatikan maharnya. Sehingga penjelasan tentang adab dan tata cara berumah tangga yang baik pun dijelaskan pada ayat berikutnya yakni An Nisa : 4 tentang mahar. Artinya, tidak sekedar menikahi dan menikmati hartanya saja. Adapun keadaan sekufu sangatlah dianjurkan, bahkan diharuskan. Sebab keadaan tidak sekufu akan mempersulit hubungan. Di samping itu sekufulah yang membuat rumah tangga itu menjadi tenteram dan damai. Sebagaimana yang diterangkan dalam An Nur ayat 3. Seorang pezina adalah untuk pezina atau orang musyrik, orang musyrik adalah untuk orang musyrik atau para pezina. Dan seorang pezina tidak dibolehkan_menurut sebagian ulama_menikah dengan muslim yang baik, lantaran tidak sekufu. Konsep sekufu dalam pernikahan dan prioritas yang didahulukan adalah inti dari ayat ini. Seraya di dalamnya mengandung makna ketidakpantasan antara muslim yang taat dan bermaksiat membangun rumah tangga bersama. Disamping itu pada ayat ke-32 dalam surat yang sama menjelaskan perkara perwalian. Dimana seorang wali haruslah menjaga kehormatan anak atau anak asuhnya. Dengan menikahkannya pada orang-orang yang shaleh untuk tujuan yang shaleh pula akan mendapatkan keberkahan hidup. Dalam ayat itu pun dijelaskan bagi siapa yang miskin lalu menikah maka Allah akan menjadikannya kaya. Di sini kaya tidak hanya dimaknai sebatas kekayaan material, tetapi juga immaterial. Seperti, perasaan selalu tentram, semangat bekerja meningkat dan lain-lain. Adalah kewajiban bagi wali/orang tua terhadap anak untuk menikahkan mereka, jika telah dinggap mampu dan sikap wali/orang tua dalam menyeleksi pasangan bagi anaknya. Salah satu hikmah pernikahan adalah janji kekayaan dari Allah, baik kekayaan harta maupun lainnya, seperti semangat hidup. Menikah itu dianjurkan, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits. Meskipun tidak diwajibkan secara langsung, tetapi pernikahan adalah hal yang lebih disukai oleh Allah dan RasulNya. Sehingga para ulama mengklasifikasikan hukum nikah menjadi lima, tergantung pada kondisi personalnya. Adalakalanya hukumnya sunnah, mubah, bisa jadi wajib, makruh bahkan haram sesuai dengan kondisi masing-masing orang. Adapun tujuannya adalah untuk memperoleh ketentraman dan kelangsungan keturunan. Sementara hikmah pernikahan ialah meningkatnya semangat hidup untuk terus maju, meningkatnya etos kerja serta rizkinya menjadi lancar. Saran Penulisan makalah tafsir tematik bertema “ nikah “ ini sangatlah jauh dari kesempurnaan. Karenanya perbaikan dan kritikan sangatlah penulis harapkan untuk memperbaiki karya tulis ini agar lebih baik dan lebih bermanfaat untuk pembaca. Daftar Referensi : Al Alusy, Syihabuddin Mahmud, 2003, Ruuhul Ma’any Juz 11, Beirut: Dar El Fikr Al Barudy, Syeikh Imad Zaky, 2006, Tafsir Wanita alih Bahasa oleh Samsun Rachman, Jakarta: Pustaka Al Kautsar Al Imadi, Abu Suud, Irsyadul Aqly Salim Ila Mazayal Kitabil Karim, disadur dari http://www.altafsir.com. Al Jashosh, 1993, Ahkamul Qur’an Juz 2, Beirut: Dar El Fikr Al Qurtuby, 1995, Jami’ul Ahkamil Qur’an jilid VI, Beirut: Dar El Fikr Ar Razy, Fakhruddin, 2000, Mafatihul Ghaib Juz 9, Beirut: Dar El Kutub Al Ilmiyah Adhwaul Bayan Juz 6, Beirut: Dar El Kutub Al Ilmiyah As Shobuny, Muhammad Ali, 2001, Rawai’ul Bayan Fii Tafsisri Ayatil Ahkam, Beirut : Dar El Kutub As Sya’rawi, Mutawalli, 2003, Tafsir Sya’rawi, Beirut: Dar El Kutub Departemen Agama, 2006, Al Qur’an dan Terjemahnya, Yogjakarta: Diponegoro H.Saleh dan H.A.A.Dahlan, 2004, Asbabun Nuzul, Yogjakarta: Diponegoro Hajjaj, Muslim, 2001, Shahih Muslim, Beirut: Darul Ihyaai At Turats Shihab, M.Quraish, 1999, Tafsir Al MIsbah Vol.2, 9, 11, Jakarta: Lentera Hati Syarifuddin, Amir, 2009, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group Yunus, Mahmud, 1989, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung Zuhaily, Wahbah, 2003. Tafsir Al Munir Jilid VI, Beirut: Dar El Fikr
Biografi “Umar bin Abdul Aziz" ( عمر بن عبد العزيز) Abu Hafzah bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin Abil ash bin Umayyah al-Quraisy, begitulah nama asli beliau. Beliau adalah seorang Khulafaur Rasyidin dan seorang tabi’in yang di segani pada masanya dan dia mempunyai gelar umar II karna karismanya yang menyerupai Umar ibn Al-Khattab dan masih ada hubungan keturunan dengan beliau, ia menjadi kepala nagara yang adil dan sekaligus menjadi ulama yang alim. Beliau dilahirkan di Mesir di daerah Halwan pada waktu ayahnya menjadi Amir disitu pada tahun 61 H. Semasa kecil ia telah hapal al-Qura’an, kemudian ia dikirim ke Madinah oleh ayahnya untuk belajar. Ia belajar al-Qur’an dari Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Ibnu Mas’ud. Umar dibesarkan di Madinah, di bawah bimbingan Ibnu Umar, salah seorang periwayat hadis terbanyak. Ia tinggal di sana sampai kematiannya ayahnya, dimana kemudian ia dipanggil ke Damaskus oleh Abdul-Malik dan menikah dengan anak perempuannya Fatimah. Ayah mertuanya kemudian segera meninggal dan ia diangkat pada tahun 706 sebagai gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid I Hadits-hadits beliau (Umar bin Abdul Aziz) di terima oleh para Tabi’in diantaranya adalah Abu Salamah bin Abdurahman, Abu Bakar Muhammad bin Amr bin Hazm, az-Zuhry, Muhammad bin al-Munkadir, Humaid ar-Thawil dan lain lain. Tidak seperti sebagaian besar penguasa pada saat itu, Umar membentuk sebuah dewan yang kemudian bersama-sama dengannya menjalankan pemerintahan provinsi. Masa di Madinah itu menjadi masa yang jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dimana keluhan-keluhan resmi ke Damaskus berkurang dan dapat diselesaikan di Madinah, sebagai tambahan banyak orang yang berimigrasi ke Madinah dari Iraq, mencari perlindungan dari gubernur mereka yang kejam, Al-Hajjaj bin Yusuf. Hal tersebut menyebabkan kemarahan Al-Hajjaj, dan ia menekan al-Walid I untuk memberhentikan Umar. al-Walid I tunduk kepada tekanan Al-Hajjaj dan memberhentikan Umar dari jabatannya. Tetapi sejak itu, Umar sudah memiliki reputasi yang tinggi di Kekhalifahan Islam pada masa itu. Pada era Al-Walid I ini juga tercatat tentang keputusan khalifah yang kontroversial untuk memperluas area di sekitar masjid Nabawi sehingga rumah Rasulullah ikut direnovasi. Umar membacakan keputusan ini di depan penduduk Madinah termasuk ulama mereka, Said Al Musayyib sehingga banyak dari mereka yang mencucurkan air mata. Berkata Said Al Musayyib: "Sungguh aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya sehingga generasi Islam yang akan datang dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya tata cara hidup beliau yang sederhana Seluruh umat Islam berkumpul di dalam masjid dalam keadaan bertanya-tanya, siapa khalifah mereka yang baru. Raja’ Ibn Haiwah mengumumkan, "Bangunlah wahai Umar bin Abdul-Aziz, sesungguhnya nama engkaulah yang tertulis dalam surat ini". Umar bin Abdul-Aziz bangkit seraya berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai'at yang ada dileherku dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki". Umat tetap menghendaki Umar sebagai khalifah dan Umar menerima dengan hati yang berat, hati yang takut kepada Allah dan tangisan. Segala keistimewaan sebagai khalifah ditolak dan Umar pulang ke rumah. Ketika pulang ke rumah, Umar berfikir tentang tugas baru untuk memerintah seluruh daerah Islam yang luas dalam kelelahan setelah mengurus jenazah Khalifah Sulaiman bin Abdul-Malik. Ia berniat untuk tidur. Pada saat itulah anaknya yang berusia 15 tahun, Abdul-Malik masuk melihat ayahnya dan berkata, "Apakah yang sedang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin?". Umar menjawab, "Wahai anakku, ayahmu letih mengurusi jenazah bapak saudaramu dan ayahmu tidak pernah merasakan keletihan seperti ini". "Jadi apa yang akan engkau perbuat wahai ayah?", Tanya anaknya ingin tahu. Umar membalas, "Ayah akan tidur sebentar hingga masuk waktu zuhur, kemudian ayah akan keluar untuk shalat bersama rakyat". Dan ternyata ketika putranya mengetahui ayahnya Amirul Mukminin yang baru, anaknya pun berkata “Ayah, siapa pula yang menjamin ayah masih hidup sehingga waktu zuhur nanti sedangkan sekarang adalah tanggung jawab Amirul Mukminin mengembalikan hak-hak orang yang dizalimi” Umar ibn Abdul Aziz terus terbangun dan membatalkan niat untuk tidur, beliau memanggil anaknya mendekati beliau, dan beliau mengecup kedua belah mata anaknya sambil berkata “Segala puji bagi Allah yang mengeluarkan dari keturunanku, orang yang menolong aku di atas agamaku” Umar bin Abdul-Aziz wafat disebabkan oleh sakit akibat diracun oleh pembantunya. Umat Islam datang berziarah melihat ke lemahan hidup khalifah sehingga ditegur oleh menteri kepada isterinya, "Gantilah baju khalifah itu", dibalas isterinya, "Itu saja pakaian yang khalifah miliki". Apabila beliau ditanya “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau mau mewasiatkan sesuatu kepada anak-anakmu?” Umar Abdul Aziz menjawab: "Apa yang akan aku berikan? Aku tidak memiliki apa-apa" "Mengapa engkau tinggalkan anak-anakmu dalam keadaan tidak memiliki?" "Jika anak-anakku orang soleh, Allah lah yang menguruskan orang-orang soleh. Jika mereka orang-orang yang tidak soleh, aku tidak mau meninggalkan hartaku di tangan orang yang mendurhakai Allah lalu menggunakan hartaku untuk mendurhakai Allah" Pada waktu lain, Umar bin Abdul-Aziz memanggil semua anaknya dan berkata: "Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan, pertama : menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka, kedua: kamu miskin seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga. Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih surga." Anak-anaknya ditinggalkan tidak berharta dibandingkan anak-anak gubernur lain yang kaya. Setelah kejatuhan Bani Umayyah dan masa-masa setelahnya, keturunan Umar bin Abdul-Aziz adalah golongan yang kaya berkat doa dan tawakkal Umar bin Abdul-Aziz. Beliau wafat pada tahun 101 H

Rabu, 26 Juni 2013





Sejarah dan Makna Pemugaran Masjid Agung Bangkalan

Ditayangkan: 12-03-2011 | oleh : Lontar Madura | Kategori: Sejarah | dibaca : 557 kali
Nilai rendahNilai tinggi (No Ratings Yet)

Konon dalam ungkapan cerita para sesepuh yang sudah merakyat bahwa Sultan R. Abd. Kadirun selain terkenal sebagai Sultan yang digdaya, juga dikenal sebagai Sultan yang soleh dan alim dalam ilmu agama.
Sejarah Masjid Agung Bangkalan
Pembangunan Masjid Agung Kota Bangkalan merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan sejarah awal perpindahan pusat pemerintahan kerajaan di Madura, karena sejak ditangkapnya dan dibuangnya Pangeran Tjakraadiningrat ke IV (memerintah tahun 1718 sampai dengan 1745) yang disebut Sidingkap (asal kata Sido-Ing-Kaap) oleh Belanda (Kaap de Goede Hoop/Afrika), yang semula didesa Sembilangan dipindahkan ke Desa Kraton Bangkalan (tahun 1717) dengan diawali 3 bangunan utama yang terdiri dari :
  1. Bangunan Kraton (sebolah timer)
  2. Bangunan Paseban (di tengah)
  3. Bangunan tempat ibadah/masjid (sebelah barat)
Adapun penggantinya adalah Pangeran Adipati Setjoadiningrat dengan gelar Panembahan Tjakraadiningrat Ke V yang kemudian setelah watat disebut Pangeran Sidomukti (asal kata Sido-ing-mukti) yang memerintah tahun 1745 sampai 1770 dan dikebumikan di Aermata, Arosbaya. Pada masa pemerintahannya (tahun 1774) Kraton dipindahkan ke Bangkalan.
Pangeran Sidomukti mempunyai putra R. Abd. Djamil, menjadi Bupati Sedayu dengan gelar R. Tumenggung Ario Suroadiningrat dan wafat mendahului Pangeran Sidomukti dengan meninggalkan istri yang sedang hamil 7 bulan dan setelah lahir diberi nama R. Tumenggung Mangkuadiningrat dan bergelar Tjakraadiningrat VI (PanembahanTengah) wafat tahun 1780 dimakamkan di Aermata, Arosbaya.
Setelah Tjakraadiningrat VI wafat diganti Saudara ayahnya yang bernama R. Abdurrahman atau R. Tawangalun alias R. Tumenggung Ario Suroadiningrat atau Panembahan Adipati Tjakraadiningrat VII (memerintah tahun 1780 sarnpai dengan 1815) yang kemudian dikenal sebagai Sultan Bangkalan I. Masjid waktu itu masih khusus untuk keluarga kraton.
Mulai Tjakraadiningrat ke VII pemerintahan berupa kesultanan dan penggantinya Sultan R. Abd. Kadirun (Sultan Bangkalan ke II) memerintah tahun 1847. Dalam kurun pemerintahan Sultan R. Abd. Kadirun, tepatnya pada hari Jum’at Kliwon tanggal 14 Jumadil Akhir 1234 H atau 10 April 1819 M sesudah Sholat Jum’at, tiang agung dipancangkan (pemugaran yan pertama) dengan ukuran 30 m x 30 m, dan waktu itu diresmikan sebagai wakaf/dijadikan Masjid Umum (Jami).
Para sesepuh Bangkalan menyatakan bahwa Masjid Jami’ Kota Bangkalan dibina oleh Panembahan Sidomukti dan diwakafkan oleh Sultan R. Abd. Kadirun yang wafat pada tanggal 11 safar 1236 H (tahun 1847) dimakamkan di kompleks tanah Masjid/dibelakang Masjid yang disebut Cungkup. Sedang tulisan (kaligrafi) yang tertera disekeliling Masjid ditulis oleh R. Moh. Zaid yang kemudian diberi gelar Raden Mas Kayadji.
Pemugaran Masjid Agung Bangkalan
Dalam pemugaran Masjid Jami’ tersebut berkembang cerita bahwa sewaktu Sultan berkenan hendak meluaskan dan membangun Masjid yang agung dan berwibawa, beliau memerintahkan untuk mencari kayu jati 4 batang yang besar dan tingginya sama untuk tiang agung dan ternyata hanya memperoleh 3 batang, sedang yang satu batang besarnya sama namun tingginya kurang dan kurang lurus, sedang waktu untuk mencari sudah tidak ada lagi.
Dalam keadaan yang demikian, maka tampillah seorang Ulama yang bernama K. Nalaguna (makamnya dikampung Barat Tambak Desa Pejagan Bangkalan) yang kemudian dikenal sebagai Empu Bajraguna (ahli membuat senjata/keris) yang bersedia untuk mengusahakan agar kayu tersebut dimandikan dan dibungkus dengan kain putih dan dikirap keliling kota, dan setelah dikirap kain pembungkusnya dibuka, ternyata berkat karomah Ulama tersebut kayu itu sama tinggi dan besarnya, sehingga tepat pada waktu yang telah ditentukan. Kayu tersebut dipancangkan disebelah muka bagian utara yang kemudian tiang tersebut diambil dari Arosbaya tanpa menggunakan alat pengangkut (transport), cukup dengan gotong royong masyarakat dengan cara sambung menyambung (bahasa madura Lorsolor).
Terhitung tanggal 1 Nopember 1885 status pemerintahan berubah menjadi Kadipaten, dan Bupati yang pertama adalah R. Moh. Hasyim dengan gelar Pangeran Suryonegoro. Adalah atas prakarsanya pada tahun 1899-1900 Masjid dipugar yang II bagian atap, penutupan kolam dimuka yang bentuknya disesuaikan dengan kondisi waktu itu termasuktatanan bangunan sekitarnya (sebelah Selatan di bangun rumah Penghulu dan sebelah Utara rumah Hoofd Penghulu). Dalam pemugaran yang ke II ini sempat ada korban yaitu arsiteknya (orang Tionghoa) meninggal disambar petir diatas Masjid.
Tahun 1950 akibat adanya gempa bumi Masjid mengalami rusak berat terutama bagian muka (serambi) dan dipugar ke III oleh Bupati Sis Tjakraningrat.
Kemudian mulai tahun 1965 karena Masjid tersebut sudah tidak bisa menampung jemaahnya, terutama pada waktu sholat Jum’at dan sholat led, mulai timbal rencana perluasan dan dibentuklah Panitia yang terdiri dari beberapa unsur organisasi massa dengan nama Panitia Besar Pembangunan Masjid Jami’ Kota Bangkalan. Namun Panitia tersebut sampai beberapa lama tidak menampakkan ujud hasilnya.
Sewaktu kepemimpinan Bupati HJ. Sujaki diambil kebijaksanaan, Panitia tersebut dirombak dengan susunan Panitia ini secara Instansional terkait dengan nama Panitia Pembangunan/Perluasan Masjid Jami’ Kota Bangkalan (SK Bupati KDH Tingkat II Bangkalan). Menjelang akhir kepemimpinan HJ. Sujaki, Rencana Gambar selesai yang didesign oleh ITS Surabaya.
Hari Jum’at sesudah sholat tanggal 16 Syahban 1401 H atau tanggal 19 Juni 1981 atas kebijaksanaan PJ. Bupati Soelarto, Pembangunan/Perluasan Masjid terus dimulai dan dilaksanakan dengan sistem bertahap (dibagi 5 tahapan).
Kemudian dalam kepemimpinan Bupati Drs. Soemarwoto, mengingat pemasukan dana yang lamban dan juga adanya kondisi tanah dan lingkungan pembuangan air sekitarnya, maka gambar (design) direvisi vaitu : Tempat wudlu yang semula dibawah lantai dipindah ke samping dengan bangunan tersendiri, dengan pertimbangan pembuangan air sulit tersalurkan karena kenyataannya selokan pembuangan lebih tinggi dari tempat wudlu tersebut.
Bagian muka yang seluruhnya berlantai dua (kelder) untuk menghemat biaya hanya samping kanan – kiri yang berlantai dua, sedang di tengah dibangun joglo.
Demikian juga setelah awal kepemimpinan Bupati Abd. Kadir melanjutkan menyelesaikan tahapan ke IV dan pada hari Jum’at 12 Jumadil Akhir 1409 H tanggal 20 Januari 1989 memulai pekerjaan tahap ke V dengan mengerjakan Wing sebelah Selatan atau kanan.
Dalam pengumpulan dana juga mengalami hal yang sama sehingga pekerjaan tersendat-sendat dan akhirnya dicari terobosan dengan memberikan mandat penuh kepada Drs. H. Hoesein Soeropranoto/ketua kehormatan Yayasan Ta’mirul Masjid Jami’ Kota Bangkalan ini (sesuai dengan keputusan Rapat antar Bupati, Panitia Pembangunan dan Yayasan Ta’mirul Masjid tanggal 12 Agustus 1990 di kantor PT. Imaco Surabaya/PT. Rajawali Nusantara Indonesia).
Selanjutnya gambar “maket” dari pemugaran Masjid tersebut disyahkan oleh Bupati Bangkalan (Abd. Kadir) para Ulama yang diwakili oleh Ketua Yayasan (KH. Loethfi Madani) sesepuh masyarakat Bangkalan (R. Pd. Muhammad Noer dan RP. Mahmoed Sosrodiputro) dan Badan Pelaksana Yayasan Pendidikan Kyai Lemah Duwur MKGR Bangkalan, Drs. Marie Muhammad dan Drs. H. Hoesein Soeropranoto. Sedang pekerjaan pemugaran mulai dilaksanakan tanggal 28 Oktober 1990 dan dapat diselesaikan ddlam waktu 2 bulan lebih cepat dari yang direncanakan selama 9 bulan.
Seiring berputarnya waktu, sampai pada Pemerintahan Bupati RKH. Fuad Amin, Masjid Agung direhab lagi, setelah dua menara kembar selesai dibangun, baru-baru ini fisik dari Masjid Agung direhab baik interior maupun Bangunan Masjid Agung karena kayu-kayu diatas / kubah sudah mengkhawatirkan sehingga perlu diganti, tetapi semuanya tidak mengurangi nilai keaslian dari Masjid itu sendiri.
Makna dari pemugaran ini adalah untuk melestarikan bangunan bersejarah dan merupakan partisipasi nyata dari generasi penerus yang mempunyai rasa tangung jawab didalam pemenuhan kebutuhan masyarakat muslim yang menganggap Masjid Agung Bangkalan sebagai kebanggaan dan pusat orientasi kota yang warganya mayoritas muslim. (Bangkalan Memory)



Kisah Masuk Islam-nya Umar bin Khattab RA

Umar bin Khattab ra terkenal sebagai orang yang berwatak keras dan bertubuh tegap. Sering kali pada awalnya (sebelum masuk Islam) kaum muslimin mendapatkan perlakukan kasar darinya. Sebenarnya di dalam hati Umar sering berkecamuk perasaan-perasaan yang berlawanan, antara pengagungannya terhadap ajaran nenek moyang, kesenangan terhadap hiburan dan mabuk-mabukan dengan kekagumannya terhadap ketabahan kaum muslimin serta bisikan hatinya bahwa boleh jadi apa yang dibawa oleh Islam itu lebih mulia dan lebih baik.
Sampailah kemudian suatu hari, beliau berjalan dengan pedang terhunus untuk segera menghabisi Rasulullah SAW. Namun di tengah jalan, beliau dihadang oleh Abdullah an-Nahham al-‘Adawi seraya bertanya:
“Hendak kemana engkau ya Umar ?”,
“Aku hendak membunuh Muhammad”, jawabnya.
“Apakah engkau akan aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhroh jika engkau membunuh Muhammad ?”,
“Jangan-jangan engkau sudah murtad dan meninggalkan agama asal-mu?”. Tanya Umar.
“Maukah engkau ku tunjukkan yang lebih mengagetkan dari itu wahai Umar, sesungguhnya saudara perempuanmu dan iparmu telah murtad dan telah meninggalkan agamamu”, kata Abdullah.
Setelah mendengar hal tersebut, Umar langsung menuju ke rumah adiknya. Saat itu di dalam rumah tersebut terdapat Khabbab bin Art yang sedang mengajarkan al-Quran kepada keduanya (Fatimah, saudara perempuan Umar dan suaminya). Namun ketika Khabbab merasakan kedatangan Umar, dia segera bersembunyi di balik rumah. Sementara Fatimah, segera menutupi lembaran al-Quran.
Sebelum masuk rumah, rupanya Umar telah mendengar bacaan Khabbab, lalu dia bertanya :
“Suara apakah yang tadi saya dengar dari kalian?”,
“Tidak ada suara apa-apa kecuali obrolan kami berdua saja”, jawab mereka
“Pasti kalian telah murtad”, kata Umar dengan geram
“Wahai Umar, bagaimana pendapatmu jika kebenaran bukan berada pada agamamu ?”, jawab ipar Umar.
Mendengar jawaban tersebut, Umar langsung menendangnya dengan keras hingga jatuh dan berdarah. Fatimah segera memba-ngunkan suaminya yang berlumuran darah, namun Fatimah pun ditampar dengan keras hingga wajahnya berdarah, maka berkata-lah Fatimah kepada Umar dengan penuh amarah:
“Wahai Umar, jika kebenaran bukan terdapat pada agamamu, maka aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah”
Melihat keadaan saudara perempuannya dalam keadaan ber-darah, timbul penyesalan dan rasa malu di hati Umar. Lalu dia meminta lembaran al-Quran tersebut. Namun Fatimah menolaknya seraya mengatakan bahwa Umar najis, dan al-Quran tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang telah bersuci. Fatimah memerintahkan Umar untuk mandi jika ingin menyentuh mushaf tersebut dan Umar pun menurutinya.
Setelah mandi, Umar membaca lembaran tersebut, lalu membaca : Bismillahirrahmanirrahim. Kemudian dia berkomentar: “Ini adalah nama-nama yang indah nan suci”
Kemudian beliau terus membaca :
طه
Hingga ayat :
إنني أنا الله لا إله إلا أنا فاعبدني وأقم الصلاة لذكري
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”
(QS. Thaha : 14)
Beliau berkata :
“Betapa indah dan mulianya ucapan ini. Tunjukkan padaku di mana Muhammad”.
Mendengar ucapan tersebut, Khabab bin Art keluar dari balik rumah, seraya berkata: “Bergembiralah wahai Umar, saya berharap bahwa doa Rasulullah SAW pada malam Kamis lalu adalah untukmu, beliau SAW berdoa :
“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang yang lebih Engkau cintai; Umar bin Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam”. Rasulullah SAW sekarang berada di sebuah rumah di kaki bukit Shafa”.
Umar bergegas menuju rumah tersebut seraya membawa pedangnya. Tiba di sana dia mengetuk pintu. Seseorang yang ber-ada di dalamnya, berupaya mengintipnya lewat celah pintu, dilihatnya Umar bin Khattab datang dengan garang bersama pedangnya. Segera dia beritahu Rasulullah SAW, dan merekapun berkumpul. Hamzah bertanya:
“Ada apa ?”.
“Umar” Jawab mereka.
“Umar ?!, bukakan pintu untuknya, jika dia datang membawa kebaikan, kita sambut. Tapi jika dia datang membawa keburukan, kita bunuh dia dengan pedangnya sendiri”.
Rasulullah SAW memberi isyarat agar Hamzah menemui Umar. Lalu Hamzah segera menemui Umar, dan membawanya menemui Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW memegang baju dan gagang pedangnya, lalu ditariknya dengan keras, seraya berkata :
“Engkau wahai Umar, akankah engkau terus begini hingga kehinaan dan adzab Allah diturunakan kepadamu sebagaimana yang dialami oleh Walid bin Mughirah ?, Ya Allah inilah Umar bin Khattab, Ya Allah, kokohkanlah Islam dengan Umar bin Khattab”.
Maka berkatalah Umar :
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah, dan Engkau adalah Rasulullah .
Kesaksian Umar tersebut disambut gema takbir oleh orang-orang yang berada di dalam rumah saat itu, hingga suaranya terdengar ke Masjidil-Haram.
Masuk Islamnya Umar menimbulkan kegemparan di kalangan orang-orang musyrik, sebaliknya disambut suka cita oleh kaum muslimin.

Sabtu, 15 Juni 2013

imam hanafi

Biografi Imam Hanafi

Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki madzhab. Di kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal dengan nama Imam Hanafi.
 
Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
 
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.

Perkembangannya
 
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.

Abu Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara, suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.

Beliau disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya.

Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.

Beliau pernah bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau ada orang yang bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka tatkala diantara mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas saya tidak mempunyai jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah dengan Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersamanya selama 10 tahun.

Pada masa pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairoh salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi (hakim) di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali), tatkala dia mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya.

Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.

Penilaian para ulama terhadap Abu Hanifah
 
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.

2. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.

3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.

4. Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”.

5. Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.

6. Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya”.

7. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.

8. Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil”.

9. Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.

Beberapa penilaian negatif yang ditujukan kepada Abu Hanifah

Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :

1. Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi mudhtharib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.

2. Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib An-Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit tidak kuat hafalan haditsnya”.

3. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam hadits”.

4. Sebagian ahlul ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam memahi masalah iman. Yaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada dalam hati dan diucapkan dengan lisan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman. Dan telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari hakekat imam, akan tetapi dia termasuk dari sya’air iman, dan yang berpendapat seperti ini adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-Maturidi … dan menyelisihi pendapat ini adalah Ahlu Hadits … dan telah dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa iman itu adalah pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan lesan tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan yang dimaksudkan dengan “tidak bertambah dan berkurang” adalah jumlah dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat, dak hal ini tidak menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang jelas dan yang samar, dan yang semisalnya.

Dan dinukil pula oleh para sahabatnya, mereka menyebutkan bahwa Abu Hanifah berkata, ‘Orang yang terjerumus dalam dosa besar maka urusannya diserahkan kepada Allah’, sebagaimana yang termaktub dalam kitab “Fiqhul Akbar” karya Abu Hanifah, “Kami tidak mengatakan bahwa orang yang beriman itu tidak membahayakan dosa-dosanya terhadap keimanannya, dan kami juga tidak mengatakan pelaku dosa besar itu masuk neraka dan kekal di neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, akan tetapi kami mengatakan bahwa barangsiapa beramal kebaikan dengan memenuhi syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang merusaknya, tidak membatalakannya dengan kekufuran dan murtad sampai dia meninggal maka Allah tidak akan menyia-nyiakan amalannya, bahklan -insya Allah- akan menerimanya; dan orang yang berbuat kemaksiatan selain syirik dan kekufuran meskipun dia belum bertaubat sampai dia meninggal dalam keadaan beriman, maka di berasa dibawah kehendak Allah, kalau Dia menghendaki maka akan mengadzabnya dan kalau tidak maka akan mengampuninya.”

5. Sebagian ahlul ilmi yang lainnya memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat Al-Qur’an itu makhluq.

Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq, coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah Thahawiyah, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu dalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.

Dan di sana masih banyak lagi bentuk-bentuk penilaian negatif dan celaan yang diberikan kepada beliau, hal ini bisa dibaca dalam kitab Tarikh Baghdad juz 13 dan juga kitab al-Jarh wa at-Ta’dil Juz 8 hal 450.

Dan kalian akan mengetahui riwayat-riwayat yang banyak tentang cacian yang ditujukan kepada Abiu Hanifah -dalam Tarikh Baghdad- dan sungguh kami telah meneliti semua riwayat-riwayat tersebut, ternyata riwayat-riwayat tersebut lemah dalam sanadnya dan mudhtharib dalam maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa merupakan cela, aib untuk ber-ashabiyyah madzhabiyyah, dan betapa banyak dari para imam yang agung, alim yang cerdas mereka bersikap inshaf (pertengahan ) secara haqiqi. Dan apabila kalian menghendaki untuk mengetahui kedudukan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan celaan terhadap Abu Hanifah maka bacalah kitab al-Intiqo’ karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Jami’ul Masanid karya al-Khawaruzumi dan Tadzkiratul Hufazh karya Imam Adz-Dzahabi. Ibnu Abdil Barr berkata, “Banyak dari Ahlul Hadits – yakni yang menukil tentang Abu Hanifah dari al-Khatib (Tarikh baghdad) – melampaui batas dalam mencela Abu Hanifah, maka hal seperti itu sungguh dia menolak banyak pengkhabaran tentang Abu Hanifah dari orang-orang yang adil”.

Beberapa nasehat Imam Abu Hanifah
 
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat-nasehat beliau adalah:

a. Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.

b. Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku. Dan dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf), janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.

Syaikh Al-Albani berkata, “Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang yang tidak mengetahui dalil mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap orang yang mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia berfatwa dengan pendapat yang menyelisishi dalil tersebut? maka camkanlah kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk itulah sebaigan orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan berkata “Abu Hanifah tidak tahu dalil”!.

Berkata Asy-sya’roni dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut, “Keyakinan kami dan keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu Hanifah, bahwa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya ilmu Syariat, setelah para penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh pelosok penjuru dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya sedikit dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab lainnya dengan penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari terpisah-pesah pada zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin masih terpencar-pencar disana-sini. Maka banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalaudibanding dengan para ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan tersebut. berbeda dengan para imam yang lainnya”. Kemudian syaikh Al-Albani mengomentari pernyataan tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila demikian halnya, hal itu merupakan udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa dia sengaja – dan ini merupakan udzur yang diterima, karena Allah tidak membebani manusia yang tidak dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah satu imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan mereka terjaga agama ini”.

c. Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.

Wafatnya
 
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.

Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.
oleh:sholihin sabay