(LENGKAP) BIOGRAFI IMAM SYAFII PENULIS KITAB
AL-UMM : “Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits yang shahih dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam lah yang lebih utama, dan jangan kalian taklid kepadaku.”
Mengenal Lebih Dekat Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Rahimahullah
Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Ulama
adalah pewaris para nabi. Keberadaannya di tengah umat bagai pelita
dalam kegelapan. Titah dan bimbingannya laksana embun penyejuk dalam
kehausan. Keharuman namanya pun seakan selalu hidup dalam sanubari umat.
Dengan segala hikmah dan kasih sayang-Nya, Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang
Maha Hakim lagi Maha Rahim tak membiarkan umat Islam -dalam setiap
generasinya- lengang dari para ulama. Diawali dari para sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam manusia
terbaik umat ini, kemudian dilanjutkan oleh para ulama setelah mereka,
dari generasi ke generasi. Orang-orang pilihan pewaris para nabi yang
selalu siaga membela agama Allah
Subhanahu wa Ta’ala dari
pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para ekstremis,
kedustaan orang-orang sesat dengan kedok agama, dan penakwilan
menyimpang yang dilakukan oleh orang-orang jahil. Di antara para ulama
tersebut adalah Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i
rahimahullahu. Seorang ulama besar umat ini yang berilmu tinggi, berakidah lurus, berbudi pekerti luhur, lagi bernasab mulia.
Nama dan garis keturunan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Nama Al-Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Beliau berasal
dari Kabilah Quraisy yang terhormat (Al-Qurasyi), tepatnya dari Bani
Al-Muththalib (Al-Muththalibi) dan dari anak cucu Syafi’ bin As-Saib
(Asy-Syafi’i). Adapun ibu beliau adalah seorang wanita mulia dari
Kabilah Azd (salah satu kabilah negeri Yaman). Kunyah beliau Abu
Abdillah, sedangkan laqab (julukan) beliau
Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abdu Manaf bin Qushay, sebagaimana dalam silsilah garis keturunan beliau berikut ini:
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib bin
Abdu Manaf bin Qushay bin
Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin
An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin
Nizar bin Ma’d bin Adnan. (
Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi
rahimahullahu, 1/76, 472,
Siyar A’lamin Nubala’karya Al-Imam Adz-Dzahabi
rahimahullahu, 10/5-6, dan
Tahdzibul Asma’ wal Lughatkarya Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu, 1/44)
Kelahiran dan masa tumbuh kembang Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Para sejarawan Islam sepakat bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan
pada tahun 150 H. Di tahun yang sama, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin
Tsabit Al-Kufi
rahimahullahu meninggal dunia. Adapun tempat kelahiran beliau, ada tiga versi: Gaza, Asqalan, atau Yaman.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani
rahimahullahu dalam
Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris (hal.
51-52), tidak ada pertentangan antara tiga versi tersebut, karena
Asqalan adalah nama sebuah kota di mana terdapat Desa Gaza. Sedangkan
versi ketiga bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Yaman, menurut
Al-Imam Al-Baihaqi, bukanlah negeri Yaman yang dimaksud, akan tetapi
tempat yang didiami oleh sebagian kabilah Yaman, dan Desa Gaza termasuk
salah satu darinya. (Lihat
Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah karya Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Aqil, 1/21-22, dan
Manaqib Asy-Syafi’i, 1/74)
Dengan demikian tiga versi tersebut dapat dikompromikan, yaitu
Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Desa Gaza, Kota ‘Asqalan (sekarang
masuk wilayah Palestina) yang ketika itu didiami oleh sebagian kabilah
Yaman.
Para pembaca yang mulia, di Desa Gaza, Asy-Syafi’i kecil tumbuh dan
berkembang tanpa belaian kasih seorang ayah alias yatim. Walau demikian,
keberadaan sang ibu yang tulus dan penuh kasih sayang benar-benar
menumbuhkan ketegaran pada jiwa beliau untuk menyongsong hidup mulia dan
bermartabat. Pada usia dua tahun sang ibu membawa Asy-Syafi’i kecil ke
bumi Hijaz.
[1] Di
Hijaz, Asy-Syafi’i kecil hidup di tengah-tengah keluarga ibunya
(keluarga Yaman). Di sana pula Asy-Syafi’i kecil belajar Al-Qur’an dan
dasar-dasar ilmu agama, sehingga pada usia tujuh tahun beliau telah
berhasil menghafalkan Al-Qur’an dengan sempurna (30 juz).
Saat memasuki usia sepuluh tahun, sang ibu khawatir bila nasab mulia
anaknya pudar. Maka dibawalah si anak menuju Makkah agar menapak
kehidupan di tengah-tengah keluarga ayahnya dari Kabilah Quraisy.
Kegemaran beliau pun tertuju pada dua hal: memanah dan menuntut ilmu.
Dalam hal memanah beliau sangat giat berlatih, hingga dari sepuluh
sasaran bidik, sembilan atau bahkan semuanya dapat dibidiknya dengan
baik. Tak ayal bila kemudian unggul atas kawan-kawan sebayanya. Dalam
hal menuntut ilmu pun tak kalah giatnya, sampai-sampai salah seorang
dari kerabat ayahnya mengatakan: “Janganlah engkau terburu menuntut
ilmu, sibukkanlah dirimu dengan hal-hal yang bermanfaat (bekerja)!”
Namun kata-kata tersebut tak berpengaruh sedikitpun pada diri
Asy-Syafi’i. Bahkan kelezatan hidup beliau justru didapat pada ilmu dan
menuntut ilmu, hingga akhirnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada beliau ilmu yang luas. (
Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 51-52,
Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 1/22-23)
Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam menuntut ilmu
Di Kota Makkah dengan segala panorama khasnya, Asy-Syafi’i kecil mulai mendalami ilmu nahwu, sastra Arab, dan sejarah.
Keinginan beliau untuk menguasainya pun demikian kuat. Sehingga setelah
memasuki usia baligh dan siap untuk berkelana menuntut ilmu, bulatlah
tekad beliau untuk menimba ilmu bahasa Arab dari sumbernya yang murni.
Pilihan pun jatuh pada Suku Hudzail yang berada di perkampungan badui
pinggiran Kota Makkah, mengingat Suku Hudzail -saat itu- adalah suku
Arab yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Dengan misi mulia tersebut
Asy-Syafi’i seringkali tinggal bersama Suku Hudzail di perkampungan
badui mereka. Aktivitas ini pun berlangsung cukup lama. Sebagian riwayat
menyebutkan sepuluh tahun dan sebagian lainnya menyebutkan dua puluh
tahun. Tak heran bila di kemudian hari Asy-Syafi’i menjadi rujukan dalam
bahasa Arab. Sebagaimana pengakuan para pakar bahasa Arab di masanya,
semisal Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri (pakar bahasa Arab di
Mesir), Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i (pakar bahasa Arab di
Irak), Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi (sastrawan ulung
di masanya), dan yang lainnya.
[2] (Lihat
Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 53,
Al-Bidayah wan Nihayah karya Al-Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullahu, 10/263,
Manaqib Asy-Syafi’i 1/102)
Kemudian Allah
Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada
Al-Imam Asy-Syafi’i kecintaan pada fiqh (mendalami ilmu agama). Mush’ab
bin Abdullah Az-Zubairi menerangkan bahwa kecintaan Al-Imam Asy-Syafi’i
pada fiqh bermula dari sindiran sekretaris ayah Mush’ab. Kisahnya, pada
suatu hari Al-Imam Asy-Syafi’i sedang menaiki hewan tunggangannya
sembari melantunkan bait-bait syair. Maka berkatalah sekretaris ayah
Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi kepada beliau: “Orang seperti engkau tak
pantas berperilaku demikian. Di manakah engkau dari fiqh?” Kata-kata
tersebut benar-benar mengena pada jiwa Al-Imam Asy-Syafi’i, hingga
akhirnya bertekad untuk mendalami ilmu agama kepada Muslim bin Khalid
Az-Zanji -saat itu sebagai Mufti Makkah- kemudian kepada Al-Imam Malik
bin Anas di Kota Madinah. (Lihat
Manaqib Asy-Syafi’i, 1/96)
Upaya menimba berbagai disiplin ilmu agama ditempuhnya dengan penuh
kesungguhan. Dari satu ulama menuju ulama lainnya dan dari satu negeri
menuju negeri lainnya; Makkah-Madinah-Yaman-Baghdad. Di daerahnya
(Makkah), Al-Imam Asy-Syafi’i menimba ilmu dari Muslim bin Khalid
Az-Zanji, Dawud bin Abdurrahman Al-Aththar, Muhammad bin Ali bin Syafi’,
Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin
Salim, Fudhail bin Iyadh, dan yang lainnya.
Pada usia dua puluh sekian tahun -dalam kondisi telah layak berfatwa
dan pantas menjadi seorang imam dalam agama ini- Al-Imam Asy-Syafi’i
berkelana menuju Kota Madinah guna menimba ilmu dari para ulama Madinah:
Al-Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslami, Abdul Aziz
Ad-Darawardi, Aththaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d,
dan yang semisal dengan mereka. Kemudian ke negeri Yaman, menimba ilmu
dari para ulamanya: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadhi, dan
yang lainnya. Demikian pula di Baghdad, beliau menimba ilmu dari
Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani ahli fiqh negeri Irak, Ismail bin
‘Ulayyah, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, dan yang lainnya. (Diringkas dari
Siyar A’lamin Nubala’, 10/6, 7, dan 12)
Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu di mata pembesar umat
Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i yang demikian panjang dalam menuntut
ilmu benar-benar membuahkan keilmuan yang tinggi, prinsip keyakinan
(manhaj) yang kokoh, akidah yang lurus, amalan ibadah yang baik, dan
budi pekerti yang luhur. Tak heran bila kemudian posisi dan kedudukan
beliau demikian terhormat di mata pembesar umat dari kalangan para ahli
di bidang tafsir, qiraat Al-Qur’an, hadits, fiqh, sejarah, dan bahasa
Arab. Kitab-kitab biografi yang ditulis oleh para ulama pun menjadi
saksi terbaik atas itu semua. Berikut ini contoh dari sekian banyak
penghormatan pembesar umat terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i yang terdapat
dalam kitab-kitab tersebut:
Dalam kitab
Tahdzibut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani
rahimahullahudisebutkan bahwa:
Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi
rahimahullahu berkata: “Tidak ada satu hadits pun yang Asy-Syafi’i keliru dalam meriwayatkannya.”
Al-Imam Abu Dawud
rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i belum pernah keliru dalam meriwayatkan suatu hadits.”
Al-Imam Ali bin Al-Madini
rahimahullahu berkata kepada
putranya: “Tulislah semua yang keluar dari Asy-Syafi’i dan jangan kau
biarkan satu huruf pun terlewat, karena padanya terdapat ilmu.”
Al-Imam Yahya bin Ma’in
rahimahullahu berkata tentang Asy-Syafi’i: “Tsiqah (terpercaya).”
Al-Imam Yahya bin Sa’id Al-Qaththan
rahimahullahu berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berakal dan lebih paham tentang urusan agama daripada Asy-Syafi’i.”
Al-Imam An-Nasa’i
rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i di sisi kami adalah seorang ulama yang terpercaya lagi amanah.”
Al-Imam Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi
rahimahullahu berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berilmu dari Asy-Syafi’i dalam hal sejarah.”
Dalam Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir
rahimahullahu terhadap kitab
Ar-Risalah karya Al-Imam Asy-Syafi’i (hal. 6) disebutkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullahu berkata: “Kalau bukan karena Asy-Syafi’i (atas kehendak Allah
Subhanahu wa Ta’ala, pen.), niscaya kami tidak bisa memahami hadits dengan baik.”
Beliau juga berkata: “Asy-Syafi’i adalah seorang yang paling paham tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dalam kitab
Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Dawud bin Ali Azh-Zhahiri
rahimahullahu disebutkan:
“Telah berkata kepadaku Ishaq bin Rahawaih: ‘Suatu hari aku pergi ke
Makkah bersama Ahmad bin Hanbal untuk berjumpa dengan Asy-Syafi’i. Aku
pun selalu bertanya kepadanya tentang sesuatu (dari agama ini) dan aku
dapati beliau sebagai seorang yang fasih serta berbudi pekerti luhur.
Setelah kami berpisah dengan beliau, sampailah informasi dari sekelompok
orang yang ahli di bidang tafsir Al-Qur’an bahwa Asy-Syafi’i adalah
orang yang paling mengerti tafsir Al-Qur’an di masa ini. Kalaulah aku
tahu hal ini, niscaya aku akan bermulazamah (belajar secara khusus)
kepadanya’.”
Dawud bin Ali Azh-Zhahiri berkata: “Aku melihat adanya penyesalan
pada diri Ishaq bin Rahawaih atas kesempatan yang terlewatkan itu.”
Dalam kitab
Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi
rahimahullahu (2/42-44 dan 48) disebutkan bahwa:
Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri
rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i termasuk rujukan dalam bahasa Arab.”
Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i
rahimahullahu berkata:
“Aku mengoreksikan syair-syair Suku Hudzail kepada seorang pemuda
Quraisy di Makkah yang bernama Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.”
Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi
rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i sebagai rujukan dalam bahasa Arab atau seorang pakar bahasa Arab.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullahu berkata: “Perkataan Asy-Syafi’i dalam hal bahasa Arab adalah hujjah.”
Al-Mubarrid
rahimahullahu berkata: “Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala merahmati
Asy-Syafi’i. Beliau termasuk orang yang paling ahli dalam hal syair,
sastra Arab, dan dialek bacaan (qiraat) Al-Qur’an.”
Menelusuri prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i sesuai dengan prinsip keyakinan (manhaj) Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Untuk lebih jelasnya, simaklah keterangan berikut ini:
a. Pengagungan Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama yang selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berpegang teguh dengan keduanya. Cukuplah karya monumental beliau, kitab
Al-Umm (terkhusus pada
Kitab Jima’ul Ilmi dan
Kitab Ibthalul Istihsan) dan juga kitab
Ar-Risalah menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula beliau melarang dari taklid buta. Sebagaimana dalam wasiat beliau berikut ini:
“Jika kalian mendapati sesuatu pada karya tulisku yang menyelisihi Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan tinggalkan perkataanku.”
“Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits yang shahih dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang lebih utama, dan jangan kalian taklid kepadaku.” (Lihat
Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472 dan 473)
Al-Imam Al-Muzani
rahimahullahu (salah seorang murid senior Al-Imam Asy-Syafi’i) di awal kitab
Mukhtashar-nya berkata: “Aku ringkaskan kitab ini dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i
rahimahullahu serta
dari kandungan ucapannya untuk memudahkan siapa saja yang
menghendakinya, seiring dengan adanya peringatan dari beliau agar tidak
bertaklid kepada beliau maupun kepada yang lainnya. Hal itu agar
seseorang dapat melihat dengan jernih apa yang terbaik bagi agamanya dan
lebih berhati-hati bagi dirinya.” (Dinukil dari
Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/127)
b. Hadits ahad dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i (dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah
selainnya), tak ada perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits ahad
dalam hal hujjah, selama derajatnya shahih. Bahkan dalam kitab
Ar-Risalah (hal.
369-471), Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan secara panjang lebar bahwa
hadits ahad adalah hujjah dalam segenap sendi agama. Lebih dari itu
beliau membantah orang-orang yang mengingkarinya dengan dalil-dalil yang
sangat kuat. Sehingga patutlah bila beliau dijuluki
Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
[3]
c. Tauhid dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Al-Imam Asy- Syafi’i merupakan sosok yang kokoh tauhidnya. Sangat
mendalam pengetahuannya tentang tauhid dan jenis-jenisnya, baik tauhid
rububiyah, tauhid uluhiyah maupun tauhid asma’ wash shifat. Bahkan
kitab-kitab beliau merupakan contoh dari cerminan tauhid kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Di antaranya apa yang terdapat dalam mukadimah kitab
Ar-Risalah berikut
ini: “Segala puji hanya milik Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi, mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir
mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. Segala puji hanya milik
Allah yang tidaklah mungkin satu nikmat dari nikmat-nikmat-Nya disyukuri
melainkan dengan nikmat dari-Nya pula. Yang mengharuskan seseorang kala
mensyukuri kenikmatan-Nya yang lampau untuk mensyukuri kenikmatan-Nya
yang baru.
[4] Siapa
pun tak akan mampu menyifati hakikat keagungan-Nya. Dia sebagaimana
yang disifati oleh diri-Nya sendiri dan di atas apa yang disifati oleh
para makhluk-Nya. Aku memuji-Nya dengan pujian yang selaras dengan
kemuliaan wajah-Nya dan keperkasaan ketinggian-Nya.
[5] Aku
memohon pertolongan dari-Nya, suatu pertolongan dari Dzat yang tidak
ada daya dan upaya melainkan dari-Nya. Aku memohon petunjuk dari-Nya,
Dzat yang dengan petunjuk-Nya tidak akan tersesat siapa pun yang
ditunjuki-Nya. Aku pun memohon ampunan-Nya atas segala dosa yang telah
lalu maupun yang akan datang, permohonan seorang hamba yang meyakini
bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan Dia, seorang hamba yang
mengetahui dengan pasti bahwa tiada yang dapat mengampuni dosanya dan
menyelamatkannya dari dosa tersebut kecuali Dia. Aku bersaksi bahwa
tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia semata, dan aku bersaksi
pula bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya…”
[6]
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat berupaya untuk menjaga kemurnian tauhid.
Oleh karena itu, beliau sangat keras terhadap segala perbuatan yang
dapat mengantarkan kepada syirik akbar (syirik besar yang mengeluarkan
pelakunya dari Islam), seperti mendirikan bangunan di atas kubur dan
menjadikannya sebagai tempat ibadah, bersumpah kepada selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dan sebagainya. (
Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 2/517)
Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip Al-Imam Asy-Syafi’i dalam
hal tauhid asma’ wash shifat sesuai dengan prinsip Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan para sahabatnya
radhiyallahu ‘anhum serta menyelisihi prinsip kelompok Asy’ariyyah ataupun Maturidiyyah.
[7] Yaitu menetapkan semua nama dan sifat bagi Allah
Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dalam hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Menetapkannya tanpa menyerupakan dengan sesuatu pun, dan mensucikan Allah
Subhanahu wa Ta’ala tanpa meniadakan (
ta’thil) nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana yang dikandung firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan lagi Maha melihat.” (
Asy-Syura: 11)
Jauh dari sikap membayangkan bagaimana hakikat sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala(
takyif) dan jauh pula dari sikap memalingkan makna sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya kepada makna yang tidak dimaukan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya (
tahrif). Demikianlah prinsip yang senantiasa ditanamkan Al-Imam Asy-Syafi’i kepada murid-muridnya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullahu berkata: “Telah
diriwayatkan dari Ar-Rabi’ dan yang lainnya, dari para pembesar
murid-murid Asy-Syafi’i, apa yang menunjukkan bahwa ayat dan hadits
tentang sifat-sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala tersebut dimaknai sesuai dengan makna zhahirnya, tanpa dibayangkan bagaimana hakikat sifat tersebut (
takyif), tanpa diserupakan dengan sifat makhluk-Nya (
tasybih), tanpa ditiadakan (
ta’thil), dan tanpa dipalingkan dari makna sebenarnya yang dimaukan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam (
tahrif).” (
Al-Bidayah wan Nihayah, 10/265)
d. Permasalahan iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i mencakup ucapan, perbuatan, dan niat
(keyakinan). Ia bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang
dengan kemaksiatan. Adapun sikap beliau terhadap pelaku dosa besar (di
bawah dosa syirik) yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat
darinya, maka selaras dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan
menyelisihi prinsip ahlul bid’ah, dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah,
maupun Murji’ah. Yaitu tergantung kepada kehendak Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah
Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk diampuni maka terampunilah dosanya, dan jika Allah
Subhanahu wa Ta’alaberkehendak untuk diazab maka akan diazab terlebih dahulu dalam An-Nar, namun tidak kekal di dalamnya. (Lihat
Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 2/516)
e. Permasalahan takdir dan Hari Akhir menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya kehendak para hamba tergantung kehendak Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Tidaklah mereka berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta
alam. Manusia tidaklah menciptakan amal perbuatannya sendiri. Amal
perbuatan mereka adalah ciptaan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya takdir baik dan takdir buruk semuanya dari Allah
‘Azza wa jalla.
Sesungguhnya azab kubur benar adanya, pertanyaan malaikat kepada
penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar adanya, penghitungan
amal di hari kiamat benar adanya, Al-Jannah dan An-Nar benar adanya,
dan hal lainnya yang disebutkan dalam Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri kaum muslimin (benar pula adanya).” (
Manaqib Asy-Syafi’i, 1/415)
Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala (
ru’yatullah)
di hari kiamat, maka Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Demi Allah, jika
Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, niscaya dia tidak akan beribadah kepada-Nya di dunia.” (
Manaqib Asy-Syafi’i, 1/419)
f. Penghormatan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat menghormati para sahabat Nabi. Hal ini
sebagaimana tercermin dalam kata-kata beliau berikut ini: “Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memuji para sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Al-Qur’an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itu pun (sungguh) telah terukir melalui lisan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh siapa pun setelah mereka. Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala merahmati
mereka dan menganugerahkan kepada mereka tempat tertinggi di sisi para
shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Merekalah para penyampai ajaran
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Mereka pula para saksi atas turunnya wahyu kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, mereka sangat mengetahui apa yang dimaukan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait
dengan hal-hal yang bersifat umum maupun khusus, serta yang bersifat
keharusan maupun anjuran. Mereka mengetahui Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Mereka di atas
kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berpikir dan menyimpulkan
suatu permasalahan berdasarkan ilmu. Pendapat mereka lebih baik dan
lebih utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri.
Wallahu a’lam.” (
Manaqib Asy-Syafi’i, 1/442)
Demikian pula beliau sangat benci terhadap kaum Syi’ah Rafidhah yang menjadikan kebencian terhadap mayoritas para sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallamsebagai
prinsip dalam beragama. Hal ini sebagaimana penuturan Yunus bin Abdul
A’la: “Aku mendengar celaan yang dahsyat dari Asy-Syafi’i -jika menyebut
Syi’ah Rafidhah- seraya mengatakan: ‘Mereka adalah sejelek-jelek
kelompok’.” (
Manaqib Asy-Syafi’i, 1/468)
g. Sikap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap kelompok-kelompok sesat
Al-Imam Al-Baihaqi
rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i seorang yang bersikap keras terhadap ahlul
ilhad (orang-orang yang menyimpang dalam agama) dan ahlul bid’ah. Beliau tampakkan kebencian dan pemboikotan (
hajr) tersebut kepada mereka.” (
Manaqib Asy-Syafi’i, 1/469)
Al-Imam Al-Buwaithi
rahimahullahu berkata: “Aku bertanya
kepada Asy-Syafi’i, ‘Apakah aku boleh shalat di belakang seorang yang
berakidah Syi’ah Rafidhah?’ Maka beliau menjawab: ‘Jangan shalat di
belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah, seorang yang berakidah
Qadariyyah, dan seorang yang berakidah Murjiah’.” (Lihat
Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/480)
Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu berkata: “Tidaklah seorang
sufi bisa menjadi sufi tulen hingga mempunyai empat karakter: pemalas,
suka makan, suka tidur, dan selalu ingin tahu urusan orang lain.” (
Manaqib Asy-Syafi’i, 2/207)
Akhir kata, demikianlah sekelumit tentang kehidupan Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i
rahimahullahu dan
prinsip keyakinan (manhaj) beliau yang dapat kami sajikan kepada para
pembaca. Seorang ulama besar yang penuh jasa, yang meninggal dunia di
Mesir pada malam Jum’at 29 Rajab 204 H, bertepatan dengan 19 Januari 820
M, dalam usia 54 tahun.
[8]
Rahimahullahu rahmatan wasi’ah, wa ghafara lahu, wa ajzala matsubatahu, wa askanahu fi fasihi jannatihi. Amin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Sumber: Majalah Asy-Syari’ah Vol. V/No. 55/1430 H/2009
http://atsarussalaf.wordpress.com/2011/03/19/mengenal-lebih-dekat-al-imam-muhammad-bin-idris-asy-syafi%E2%80%99i/
[1] Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia adalah Makkah, dan sebagian yang lain bukan Makkah.
[2] Lihat perkataan mereka pada sub judul
Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i di mata pembesar umat.
[3] Lihat
Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472.
[4] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid rububiyah.
[5] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid asma’ wash shifat.
[6] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid uluhiyah.
[7] Sungguh
mengherankan orang-orang yang sangat fanatik terhadap madzhab Al-Imam
Asy-Syafi’i dalam masalah fiqh, sementara dalam masalah tauhid asma’
wash shifat mereka tinggalkan madzhab beliau yang lurus, kemudian
berpegang dengan madzhab Asy’ariyyah atau Maturidiyyah yang sesat.
[8] Lihat Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir terhadap kitab
Ar-Risalah hal. 8.
Imam Asy-Syafi`i Imam Ahlus Sunnah
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan
pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah
dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu
‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah
mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya
Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i”.
NASAB BELIAU
Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya
Muhammad bin Idris bin
Al-Abbas bin Utsman bin Syaafi’ bin As-Saai’b bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid
bin Hasyim bin Al- Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin
Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Nasab beliau bertemu dengan nasab
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pada Abdu Manaf, sedangkan
Al-Muththalib adalah saudaranya Hasyim (bapaknya Abdul Muththalib).
TAHUN DAN TEMPAT KELAHIRAN
Beliau dilahirkan di desa Gaza, masuk kota ‘Asqolan pada tahun 150 H.
Saat beliau dilahirkan ke dunia oleh ibunya yang tercinta, bapaknya
tidak sempat membuainya, karena ajal Allah telah mendahuluinya dalam
usia yang masih muda. Lalu setelah berumur dua tahun, paman dan ibunya
membawa pindah ke kota kelahiran nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi
wassalam, Makkah Al Mukaramah.
PERTUMBUHANNYA
Beliau tumbuh dan berkembang di kota Makkah, di kota tersebut beliau
ikut bergabung bersama teman-teman sebaya belajar memanah dengan tekun
dan penuh semangat, sehingga kemampuannya mengungguli teman-teman
lainnya. Beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam bidang ini,
hingga sepuluh anak panah yang dilemparkan, sembilan di antaranya tepat
mengenai sasaran dan hanya satu yang meleset.
Setelah itu beliau mempelajari tata bahasa arab dan sya’ir sampai
beliau memiliki kemampuan yang sangat menakjubkan dan menjadi orang yang
terdepan dalam cabang ilmu tersebut. Kemudian tumbuhlah di dalam
hatinya rasa cinta terhadap ilmu agama, maka beliaupun mempelajari dan
menekuni serta mendalami ilmu yang agung tersebut, sehingga beliau
menjadi pemimpin dan Imam atas orang-orang
KECERDASANNYA
Kecerdasan adalah anugerah dan karunia Allah yang diberikan kepada
hambanya sebagai nikmat yang sangat besar. Di antara hal-hal yang
menunjukkan kecerdasannya:
1. Kemampuannya menghafal Al-Qur’an di luar kepala pada usianya yang masih belia, tujuh tahun.
2. Cepatnya menghafal kitab Hadits Al Muwathta’ karya Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas pada usia sepuluh tahun.
3. Rekomendasi para ulama sezamannya atas kecerdasannya, hingga ada
yang mengatakan bahwa ia belum pernah melihat manusia yang lebih cerdas
dari Imam Asy-Syafi`i.
4. Beliau diberi wewenang berfatawa pada umur 15 tahun.
Muslim bin Khalid Az-Zanji berkata kepada Imam Asy-Syafi`i:
“Berfatwalah wahai Abu Abdillah, sungguh demi Allah sekarang engkau
telah berhak untuk berfatwa.”
MENUTUT ILMU
Beliau mengatakan tentang menuntut ilmu, “Menuntut ilmu lebih afdhal
dari shalat sunnah.” Dan yang beliau dahulukan dalam belajar setelah
hafal Al-Qur’an adalah membaca hadits. Beliau mengatakan, “Membaca
hadits lebih baik dari pada shalat sunnah.” Karena itu, setelah hafal
Al-Qur’an beliau belajar kitab hadits karya Imam Malik bin Anas kepada
pengarangnya langsung pada usia yang masih belia.
GURU-GURU BELIAU
Beliau mengawali mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada di negerinya, di antara mereka adalah:
1. Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah
2. Muhammad bin Syafi’ paman beliau sendiri
3. Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi`i
4. Sufyan bin Uyainah
5. Fudhail bin Iyadl, serta beberapa ulama yang lain.
Demikian juga beliau mengambil ilmu dari ulama-ulama Madinah di antara mereka adalah:
1. Malik bin Anas
2. Ibrahim bin Abu Yahya Al Aslamy Al Madany
3.Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far dan
Ibrahim bin Sa’ad serta para ulama yang berada pada tingkatannya
Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman di antaranya;
1.Mutharrif bin Mazin
2.Hisyam bin Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah ulama lainnya.
Dan di Baghdad beliau mengambil ilmu dari:
1.Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa Irak, beliau bermulazamah
bersama ulama tersebut, dan mengambil darinya ilmu yang banyak.
2.Ismail bin Ulayah.
3.Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang lainnya.
MURID-MURID BELIAU
Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah:
1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.
2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani
3. Ishaq bin Rahawaih,
4. Harmalah bin Yahya
5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi
6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.
KARYA BELIAU
Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang
diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau
banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam
berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang
ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam
bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau menulis kitab Jima’ul Ilmi.
PUJIAN ULAMA PARA ULAMA KEPADA BELIAU
Benarlah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,
“Barangsiapa yang mencari ridha Allah meski dengan dibenci manusia,
maka Allah akan ridha dan akhirnya manusia juga akan ridha kepadanya.”
(HR. At-Tirmidzi 2419 dan dishashihkan oleh Syaikh Al Albani dalam
Shahihul Jami’ 6097).
Begitulah keadaan para Imam Ahlus Sunnah, mereka menapaki kehidupan
ini dengan menempatkan ridha Allah di hadapan mata mereka, meski harus
dibenci oleh manusia. Namun keridhaan Allah akan mendatangkan berkah dan
manfaat yang banyak. Imam Asy-Syafi`i yang berjalan dengan lurus di
jalan-Nya, menuai pujian dan sanjungan dari orang-orang yang utama.
Karena keutamaan hanyalah diketahui oleh orang-orang yang punya
keutamaan pula.
Qutaibah bin Sa`id berkata: “Asy-Syafi`i adalah seorang Imam.” Beliau
juga berkata, “Imam Ats-Tsauri wafat maka hilanglah wara’, Imam
Asy-Syafi`i wafat maka matilah Sunnah dan apa bila Imam Ahmad bin Hambal
wafat maka nampaklah kebid`ahan.”
Imam Asy-Syafi`i berkata, “Aku di Baghdad dijuluki sebagai Nashirus Sunnah (pembela Sunnah Rasulullah).”
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Asy-Syafi`i adalah manusia yang paling fasih di zamannya.”
Ishaq bin Rahawaih berkata, “Tidak ada seorangpun yang berbicara
dengan pendapatnya -kemudian beliau menyebutkan Ats-Tsauri, Al-Auzai,
Malik, dan Abu Hanifah,- melainkan Imam Asy-Syafi`i adalah yang paling
besar ittiba`nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, dan paling
sedikit kesalahannya.”
Abu Daud As-Sijistani berkata, “Aku tidak mengetahui pada Asy-Syafi`i satu ucapanpun yang salah.”
Ibrahim bin Abdul Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu
Qudamah As-Sarkhasi tentang Asy-Syafi`i, Ahmad, Abu Ubaid, dan Ibnu
Ruhawaih. Maka ia berkata, “Asy-Syafi`i adalah yang paling faqih di
antara mereka.”
PRINSIP AQIDAH BELIAU
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh
dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam
aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan
Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.
Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat
makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak
mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah
memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan
sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam
kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena
Al-Qur’an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah) dan juga telah
ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi
demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika
belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu
tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan
pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan
penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah
berfirman,
“Tidak ada yang menyerupaiNya sesuatu pun, dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Dalam masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan,
“Al-Qur’an adalah kalamulah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an
adalah makhluk maka dia telah kafir.”
PRINSIP DALAM FIQIH
Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang
shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”
Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu
a’laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak
mendengarnya dariku.”
Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang
menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka
ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”
SIKAP IMAM ASY-SYAFI`I TERHADAP AHLUL BID’AH
Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah
terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan
kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan beliau benci kepada Ahlil
Kalam dan Ahlil Bid’ah.”
Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.”
Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam
dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak
keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan
kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.”
PESAN IMAM ASY-SYAFI`I
“Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”
WAFAT BELIAU
Beliau wafat pada hari Kamis di awal bulan Sya’ban tahun 204 H dan
umur beliau sekita 54 tahun (Siyar 10/76). Meski Allah memberi masa
hidup beliau di dunia 54 tahun, menurut anggapan manusia, umur yang
demikian termasuk masih muda. Walau demikian, keberkahan dan manfaatnya
dirasakan kaum muslimin di seantero belahan dunia, hingga para ulama
mengatakan, “Imam Asy-Syafi`i diberi umur pendek, namun Allah
menggabungkan kecerdasannya dengan umurnya yang pendek.”
KATA-KATA HIKMAH IMAM ASY-SYAFI`I
“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti
orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha
manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk
selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan
hal-hal yang bermanfaat bagimu”.
Sumber: Majalah As-Salaam