se genteng

Jumat, 28 Juni 2013

Tafsir Tematik :Ayat –Ayat Nikah ( Hakekat, Tujuan dan Hikmahnya ) Oleh sholihin sabay Latar Belakang Pernikahan merupakan sebuah fitroh manusia. Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan untuk saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lain. Sebagai makhluk sosial manusia secara praktis tidak dapat hidup sendiri. Secara biologis, manusia berkebutuhan untuk menyalurkan hasrat yang sudah menjadi fitrah basyariyah-nya. Oleh karenanya, Islam memberikan anjuran untuk menikah sebagai suatu sunnah dan sebagai sarana untuk mendapatkan ketentraman lahir dan batin. Selain itu, kebutuhan biologis manusia juga dapat terpenuhi secara halal, sah dan mendatangkan berkah melalui pernikahan. Pernikahan memang perkara yang sakral. Karenanya menikah bukanlah sekedar mencari tempat untuk bersenang-senang. Melainkan sebuah ikatan suci yang harus dijaga dan merupakan janji yang agung. Meski Al Qur’an menyebut pernikahan sebagai “mitsaqan ghalidhan”, pernikahan tidaklah seberat yang para rahib_ pendeta_ pikirkan, tetapi bukan pula sekedar penghalalan ‘koitus’ antar laki-laki dan perempuan saja. Islam memberikan jalan keluar akan kesulitan-kesulitan yang dihadapi pemeluknya. Jika hasrat biologis manusia mulai meminta untuk dipenuhi, menikah adalah solusinya. Islam tidak mengharuskan pemeluknya untuk membujang. Bahkan “membujang” adalah perkara yang di-makruh-kan. Legalisasi hubungan antara laki-laki dan perempuan melalui pernikahan merupakan jalan yang disyari’atkan. Islam melarang perzinaan. Sebab zina adalah jalan yang salah dan sesat. Di samping itu, pelarangan zina merupakan representasi dari maqasidus syari’ah yakni “hifdzun nasl”. Rumusan Masalah Berawal dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah : 1. Apa pengertian nikah itu? 2. Apa saja ayat-ayat Al Qur’an yang membahas tentang pernikahan? 3. Bagaimana hukum pernikahan itu? 4. Apa tujuan dan hikmah pernikahan? Tujuan Penulisan Betolak dari rumusan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian nikah, memahami ayat-ayat yang membahas tentang pernikahan, serta mengetahui hukum, tujuan dan hikmah pernikahan itu sendiri. Metode Penulisan Penulisan makalah ini menggunakan metode tematik, dengan mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang bertema sama, kemudian menyusunnya dalam sebuah kajian tafsir maudhui. Dengan menguraikan isi kandungan ayat-ayat tersebut untuk mengambil kesimpulan atas pesan yang disampaikan. Kemudian mengumpulkan data sekaligus menguraikan apa yang terdapat dalam disiplin ilmu al Qur’an seperti asbabun nuzul, munasabah, qira’at, muhkam mutasyabihnya dan lain sebagainya. Setelahnya baru menarik kesimpulan dari ayat-ayat yang ditafsiri tersebut untuk menjawab permasalahan. PEMBAHASAN A. Pengertian Nikah Term “ nikah” berasal dari bahasa Arab “ nakaha-yankihu-nakhan” yang artinya mengumpulkan, diartikan bersetubuh. Di dalam Al Qur’an term ini disebutkan beberapa kali, adapun ayat-ayat Al Qur’an yang secara khusus membicarakan tentang “ anjuran menikah “ terdapat dalam 4 ayat yang terangkum dalam 3 surat yakni : ( 4;3 ), ( 24;3,32 ) dan ( 30;21 ). Ulama Syafi’iyah memberikan pengertian bahwa nikah adalah : عقد يتظمن اباحة وطء بلفظ انكاح اوتزويج “Nikah adalah akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau za-wa-ja” ( Al Mahally: 206 ) Ulama-ulama terdahulu lainnya sebagaimana ulama syafi’iyah memberikan definisi yang begitu pendek dan sederhana. Mereka hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan, yaitu kebolehan melakukan “koitus “ setelah berlangsungnya perkawinan itu. Akan tetapi ulama kontemporer memperluas jangkauan definisi yang disebutkan ulama terdahulu. Diantaranya adalah yang diungkapkan oleh Dr. Ahmad Ghandur dalam bukunya Al Ahwal Al Syakhsiyah fi Tasyri’il Islamy, pernikahan adalah : Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban. Dari pemaparan beberapa definisi yang diungkapkan oleh ulama-ulama terdahulu maupun ulama kontemporer menemui titik persamaan dan adanya sedikit perbedaan. Jika ulama klasik mendefinikan nikah sebatas akad yang membolehkan “ koitus” antara laki-laki dan perempuan secara sah. Maka ulama kontemporer memperluas pengertian tersebut menjadi sebuah akad yang berupa perbuatan hukum dan akan menimbulkan akibat hukum yang mengikat pelakunya. Termasuk akibat hukumnya adalah munculnya hak dan kewajiban suami istri. B. Kajian Ayat-Ayat Bertema Nikah Di dalam al Qur’an banyak ayat-ayat yang bertemakan pernikahan. Dalam kajian tafsir maudhui ini dibatasi pada ayat-ayat bertemakan pengertian dan anjuran nikah. Oleh sebab itu, ayat-ayat nikah yang disebutkan dalam makalah ini hanyalah ayat yang mengenai anjuran nikah, bukan prosedur maupun larangan-larangannya. Adapun ayat-ayatnya adalah : Ayat pertama, menerangkan dan menguraikan tentang perkembangbiakan manusia serta bukti kuasa dan rahmat Allah swt. yakni QS Ar Ruum: 21 :             ••   •       “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”( QS Ar Ruum : 21 ) Ayat ini melanjutkan pembuktian yang lalu dengan menyatakan bahwa :”Dan juga diantara tanda-tanda kekuasaanNya adalah Dia menciptakan untuk kamu secara khusus pasangan-pasangan hidup (suami atau istri ) dari jenis kamu sendiri, supaya kamu tenang dan tentram serta cenderung kepadanya, yakni kepada masing-masing pasangan itu”. Ayat 20 surat Ar Ruum menjelaskan bahwa manusia itu tersebar, dan ayat 21 memberikan gambaran dan cara bagaimana manusia tersebar, yakni dengan memperoleh anak melalui jalan pernikahan. Perkawinan itu juga merupakan sunnah Rasul yang pernah dilakukannya selama hidupnya dan menghendaki umatnya berbuat yang sama. Hal ini terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhory dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik bahwa Nabi sendiri melakukan shalat, tidur, berpuasa, berbuka, dan beliau mengawini perempuan juga. Maka barang siapa yang tidak senang dengan sunnahnya maka ia bukanlah termasuk dari golongannya. Sementara ulama menterjemahkan kata ازواج pada ayat ini-diartikan sebagai istri-istri. Menurut dugaan mereka, kata ilaiha yang menggunakan bentuk kata ganti feminin menunjuk pada perempuan, dan kata lakum menunjuk pada maskulin. Sehingga ayat ini dipahami sebagai ayat yang tertuju pada laki-laki, khususnya adalah suami. Pemahaman ini kurang dirasa tepat. Kerena bentuk feminin pada kata ilaiha menunjuk pada azwaj dalam kedudukannya sebagai jamak. Sementara dalam aturan bahasa Arab adalah “ kullu jam’in muannasun”.Yang dimaksudkan adalah pasangan baik pria maupun wanita. Pernyataan “ min anfusikum azwajan “, secara bahasa artinya adalah “ dari jenismu sendiri “. Interpretasi awal mengenai frase ini tidak lain adalah Hawa diciptakan dari Nabi Adam. Selanjutnya ulama lain menafsirkan bahwa “ min” adalah “min” yang menunjukkan arti permulaan. Sedangkan ‘ anfus’ merupakan majaz dari “ jinsi”. Sehingga pemaknaan ayat tersebut sebagaimana penafsiran kedua adalah “diciptakannya istri-istri bagi kalian dari jenismu sendiri”. Maksud dari pernyataan “ li taskunu ‘ilaiha” adalah ketenangan dan ketentraman hati. Dimana arti asalnya menurut ar Razy adalah diam. Tetapi diam disini tidak dimaknai sebagai diam yang bersifat jasadi, sebab diam yang bersifat jasadi menggunakan term ‘sakana ‘inda’. Sedangkan yang dipakai di sini adalah “sakana ila”, yang ghayah-nya adalah hati. Dari sini agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan pria dan wanita, serta diarahkannya pertemuan itu sedemikian rupa sehingga terlaksana apa yang dinamai ‘perkawinan’ guna mengusir keterasingan dan beralihnya kerisauan menjadi ketentraman. Ayat keduanya adalah QS. An Nisa : 3 yang membahas tentang larangan berlaku aniaya terhadap anak yatim serta adanya anjuran menikah, yaitu :                                “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil , Maka (kawinilah) seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” ( QS.An Nisa’: 3 ) Ayat ini termasuk dalam golongan ayat Madaniyah, sebab secara keseluruhan Surat An Nisa’ adalah Surat Madaniyah. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam shahih-nya dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah R.a bahwa ada seorang lelaki yang memiliki seorang anak perempuan asuh yatim, lalu dia menikahinya. Anak yatim itu memiliki harta dan ia menahan anak itu untuk tidak nikah selain dengan dirinya,dan dia tidak mendapatkan apa-apa dari lelaki tersebut. Maka turunlah ayat ini. Ayat ini memiliki keterkaitan secara Lafdzy (yakni lafadz al yatama) dan ma’nawy dengan ayat sebelumnya. Jika ayat sebelumnya menjelaskan tentang larangan menahan harta anak yatim dan menguasai pribadi serta hartanya. Lafadz أن لا تقسطوا فى اليتمى identik dengan perlakuan tidak adil pada ayat sebelumnya. Dan pada akhirnya ayat ini menjadi sebuah solusi atas ayat sebelumnya. Sebagai ayat yang menghubungkan ayat ke-2 dan ke-4, penyebutan “ al yatama” dan “ nikahun nisa” menurut sebagian ulama disamakan maknanya. Sebab keduanya sama-sama memiliki sifat lemah. Pada ayat kedua, bersinggungan dengan anak yatim. Sedang pada ayat ke-4 ayat ini terkait dengan perkara mahar yang dibicarakan dalam pernikahan. Di sisi lain, jika ditinjau dari segi asbabun nuzul-nya ada seorang wali yang menikahi wanita yatim yang berada dalam ampuannya tanpa berbuat adil dalam memberikan mahar. Ayat ini dan sesudahnya memberikan solusi berumahtangga yang damai, adil terhadap istri serta adab pemberian mahar. Ayat di atas menggunakan kata (تقسطوا) dan kata (تعدلوا) yang keduanya diterjemahkan “adil”. Ada ulama’ yang mempersamakan maknanya, ada juga yang membedakannya dengan berkata bahwa تقسطوا adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang menjadikan keduanya senang. Sedangkan تعدلوا maknanya berlaku adil baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, tapi keadilan itu bisa saja tidak menyenangkan bagi salah satu pihak. Firman Allah: “ Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”. Ibnu Jarir berkata dalam tafsirnya bahwa para ahli tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Pertama, maknanya adalah jika mereka (para wali anak-anak yatim) tidak bisa berlaku adil dalam memberikan mahar dan tidak bisa memberikan mahar sebagaimana yang diberikan kepada wanita-wanita lain semisal mereka, maka janganlah menikahi mereka tapi nikahilah wanita-wanita lain selain mereka. Kedua, menurut Abu Ja’far maknanya adalah larangan untuk menikah lebih dari empat, sebagai peringatan agar tidak terjadi pelanggaran harta anak yatim yang dirusak oleh para walinya. Alasannya orang-orang Quraisy ada yang menikah dengan sepuluh wanita ada yang lebih ada pula yang kurang. Jika kehabisan harta maka ia akan bersandar pada anak yatim yang bisa memberinya nafkah atau dia menikah dengannya, lalu menguasai hartanya. Sementara itu, menurut para ahli Tafsir yang lain ketakutan dalam urusan harta anak yatim seyogyanya dimaknai sama dengan ketakutan untuk berbuat zina dengan wanita-wanita itu. Sehingga menikah adalah solusi atas ketakutan berbuat zina tersebut. Menurut Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah-nya bahwa penyebutan dua, tiga atau empat pada hakikatnya bukanlah perintah atau peraturan tentang poligami. Sebab poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai agama dan telah menjadi tradisi masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Ayat ini tidak mewajibkan poligami, tidak juga menganjurkannya. Hanya saja membolehkan poligami dengan memberikan persyaratan yang tidak bisa dianggap ringan. Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam Al Qur’an hendaknya tidak hanya ditinjau dari segi ideal atau baik buruknya saja, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi. “ fain khiftum an laa ta’dilu fawahidatan “, yang dimasud ‘adil’ dalam penggalan ayat ini adalah adil dalam hal nafaqah dan giliran, tetapi bukan dalam hal kecondongan hati atau cinta. Oleh karenanya, monogami akan lebih baik dari pada poligami, jika hal tersebut dapat menimbulkan ketidakadilan dan kedhaliman. Ayat selanjutnya adalah An Nur ayat 3, yang di dalamnya mengandung penjelasan keharusan menghindari pezina dalam memilih calon istri maupun calon suami. Sebagaimana tertera dalam lafadznya, yaitu : •       •             “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin ” ( QS.An Nur: 3 ) Ayat ini adalah bagian dari Surah An-Nur yang turun pada periode Madinah. Keadaan ini dapat difahami dari ayat-ayat yang panjang dan kandungannya berupa hukum-hukum Islam yang terperinci. Para mufassir mengatakan bahwa QS. An-Nur: 3 turun berkenaan dengan para kaum muhajirin berangkat ke dari Makkah ke Madinah sebagian mereka adalah orang-orang fakir, dan di Madinah terdapat perempuan pezina kaya yang menjual diri mereka. Sehingga beberapa fakir muhajirin menginginkan harta mereka. Mereka berkata “Seandainya kita menikahi mereka maka Allah akan memberikan kekayaan melalui mereka”. Kemudian mereka meminta izin kepada Nabi, maka turunlah ayat ini. Dalam dalam riwayat imam Nasa’i yang berasal dari Abdullah bin Umar dikemukakan bahwa Ummul Mahzul, seorang wanita pezina, akan dikawini oleh seorang sahabat Nabi SAW. Maka turunlah ayat ini (QS. An-Nur: 3). Dari beberapa literatur yang menjelaskan tentang asbabun nuzul ayat ini, memiliki kesamaan esensi yaitu tidak pantasnya seorang yang pezina untuk menikah dengan muslim yang baik. Setelah menjelaskan tentang hukum terhadap pezina, ayat ini (an Nur: 3) mengemukakan keharusan menghindari pezina. Kemudian pada ayat keempat Allah menjelaskan tentang keburukan dan ancaman bagi orang yang menuduh dan mencemarkan nama baik seorang wanita terhormat, karena akibat tuduhan itu ia akan dianggap sebagai orang yang memiliki aib yang hina dan akhlak buruk yang selanjutnya akan tersisihkan dari masyarakat. Ulama berbeda pendapat tentang pengertian nikah (ينكح) pada ayat ke-3. Sebagian berkata maksud yankihu adalah hubungan badan, pendapat yang lain menyatakan bermakna akad nikah dengan alasan adanya kata musyrik dan musyrikah yang menunjukkan tidak sahnya akan nikah sebagaimana tidak sahnya menikah dengan orang musyrik (al-Baqarah: 221). Sebagian ulama berpendapat bahwa An-Nur ayat 3 dinasakh dengan ayat 32 dari surah yang sama. Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa seseorang yang berzina boleh menikah dengan pasangan zinanya ataupun orang lain. Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa ayat ini mansukh. Sehingga jika seorang suami berzina maka nikahnya tidak batal dan begitu pula istri jika malakukan perbuatan keji ini. Akan tetapi, sebagian ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa ayat 3 tiga tidak dinaskh, dan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut tetaplah berlaku. Adapun kandungan ayat ini adalah konsep kafaah. Kafaah dalam pengertian mudahnya adalah keadaan setara antara seorang laki-laki dengan wanita yang akan menjadi teman hidupnya. Mukafaah dapat di tinjau dari berbagai aspak; ekonomi, profesi, keturunan, agama. Jika memperhatikan an-Nur: 3, dapat difahami bahwa kafaah yang ditekankan adalah tentang akhlak. Pezina adalah orang yang dianggap hina, maka tidak pantas orang hina berpasangan kecuali dengan orang hina pula atau dengan orang musyrik karena kemusyrikan lebih jelek daripada perzinahan. Pencantuman kata musyrik pada ayat, bukanlah menunjukkan kebolehan pernikahan seorang muslim dengannya. Tetapi hanya serbatas penekanan akan jeleknya perzianaan. Karena itu pernikahan muslim dengan musyrik adalah keharaman yang mutlak. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata “as shalihina” pada ayat yang berarti orang yang taat beragama, dan ada pula yang mengartikan memiliki kemampuan untuk membangun rumah tangga secara mental dan spiritual. Jika mengambil pendapat pertama maka hal itu sesuai dengan sabda Nabi yang berkenaan dengan kriteria dalam mencari pasangan dengan memberikan standar penilaian yaitu baiknya agamanya dan juga terkait erat dengan masalah kafaah. عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ Telah dikemukakan sebelumnya bahwa jika ayat ini mansukh, maka tidak berlaku secara mutlak hukum yang terkandung. Artinya seseorang boleh menikah dengan orang lain baik yang taat maupun yang pezina dan tidak ada persyaratan bagi pezina hanya boleh menikah sesamanya. Pendapat lain mengatakan bahwa ayat tersebut mansukh, akan tetapi pernikahan orang taat dengan pezina hukumnya makruh. Jika ayat tersebut berlaku maka seseorang haram menikah dengan pezina. Pezina hanya bolah menikah sesamanya dan pernikahan orang yang melakukannya hukumnya batal. Pendapat lain yang mengatakan bahwa ayat tersebut berlaku, akan tetapi hanya boleh menikahi atau dinikahi pezina yang telah bertaubat. Dari panjelasan yang ada dapat difahami bahwa adanya ketidaksekufuan antara orang yang tidak berzina dengan orang yang melakukannya dalam pernikahan, sehingga memunculkan ketidakpantasan di antara keduanya. Baik ketidakpantasan itu hukumnya makruh ataupun haram. Ayat berikutnya adalah An Nur ayat 32. Isinya menjelaskan tentang perintah bagi para pemilik budak atau wali untuk memelihara diri mereka dan budaknya dari perbuatan hina. Artinya perintah untuk menjaga kesucian diri dan orang lain.                     “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian , diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” ( QS.An Nur:32 ) Dua ayat sebelum an-Nur:32 menjelaskan tentang perintah untuk laki-laki dan perempuan untuk menjaga kesucian diri dan jiwa, kemaluan, serta menutup aurat. Sedangkan pada ayat tersebut merupakan perintah bagi pemilik budak dan wali untuk menjaga budak dan yang dibawah perwalian mereka untuk menjaga ke sucian mereka juga. Ar-Razi menjelaskan bahwa setelah perintah untuk menjaga kesucian berupa larangan dari hal-hal yang diharamkan, maka pada ayat tiga puluh dua ini Allah menjelaskan jalan yang diperbolehkan yaitu menikah. Pada ayat selanjutnya menerangkan tentang ketidakmampuan untuk menikah. Quraish Shihab dan ar-Razi dalam menjelaskan munasabah ayat sama-sama mengungkapkan bahwa nikah adalah sarana untuk mencapai kesucian, walaupun melalui ungkapan yang berbeda. Makna “ankihu” (أنكحوا) adalah nikahkanlah karena menggunkan hamzah qath’i yang berarti perintah bukan untuk orang yang menikah. Tapi berlaku luas bagi seluruh wali atau yang memiliki laki dan perempuan (yang sudah waktunya menikah) untuk menyegerakan, mempermudah, meringankan pernikahannya. Kata al-ayaama ( الأيامى) adalah jamak dari al-ayyamu (الأيّم) yang berarti seseorang laki-laki merdeka yang tidak mempunyai istri atau seorang perempuan merdeka yang tidak punya suami . Baik mereka sudah menikah atau belum. Dalam istilah Indonesia dikenal dengan istilah lajang. As-shalihin (الصالحين) artinya memiliki kemampuan untuk melaksanakan pernikahan dengan segala ketentuan yang ada didalamnya. Jadi hanya budak yang telah memiliki kemampuan untuk berumahtangga . Kandungan ayat ini adalah tentang kedudukan wali dalam pernikahan serta hikmah pernikahan itu sendiri. Wali dalam pengertian umum adalah orang yang berwenang terhadap orang lain. Istilah wali dalam akad pernikahan ialah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan. Wali yang utama adalah ayah dari mempelai perempuan karena kedekatannya sebagai orang tua yang lebih faham tentang anaknya, kemudian baru dari keluarga yang lain. Surah an nur: 32 mengingatkan kembali salah satu kewajiban wali/orang tua yaitu menikahkannya jika dianggap telah layak dengan kata angkihu (أنكحوا). Terkhusus bagi wali - dalam istilah pernikahan - dan keluarga wanita untuk tidak mempersulit seorang laki-laki yang datang untuk melamar. Di masyarakat kadang hal ini terjadi dengan meninggikan mahar dengan memperkirakan jumlah yang tidak mampu disediakan oleh mempelai laki-laki ataupun dengan alasan yang lain. Kecuali jika mahar yang besar telah menjadi budaya dalam suatu masyarakat dan tidak meninggikan mahar disini bukan berarti murah yang murahan. Padahal Nabi telah memperingatkan hal itu: إذا جاءكم مَنْ ترضون دينه وخلقه فزوِّجوه، إلاَّ تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد كبير ". “Jika datang – seorang laki-laki melamar – yang menurutmu baik agama dan akhlaknya maka nikahkanlah, jika tidak akan menjadi fitnah bagimu di dunia dan kecelakaan yang besar.” Wali adalah orang yang memiliki andil dalam menetukan kebahagian rumah tangga pernikahan khususnya dari pihak wanita. Sehingga jika telah menemukan seorang yang sekufu maka hendaknya menikahkan dengan wanita yang menjadi perwaliannya. Salah satu hikmah nikah yang dijelaskan dalam surah an nur:32 adalah janji kekayaan bagi seseorang yang menikah kerena mengharap ridho Allah dan menjaga diri dari kejelekan. Hal ini juga dibenarkan nabi: ثَلاَثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُ الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِى يُرِيدُ الأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِى يُرِيدُ التَّعَفُّفَ “Ada tiga kelompok orang yang berhak mendapatkan pertolongan Allah: mujahid di jalan Allah, orang yang menikah yang menjaga kehormatan, dan budak yang menginginkan kemerdekaan.” Kekayaan dalam hal ini tidak hanya berupa harta benda saja. Jadi sangat memungkinkah seseorang yang telah menikah tidak terlalu berbeda ekonominya saat sebelum menikah. Yang utama adalah kekayaan hati. Realita di masyarakat memperlihatkan bahwa sebagain pasangan yang bersungguh-sungguh membangun rumah tangga, mampu membiayai kebutuhan anak dan keluarganya walaupun sebelum menikah tidak memiliki penghasilan yang banyak. Pada bagian masyarakat lainnya tidak mengalami peningkatan keuangan yang mencolok, akan tetapi pemikiran dan tindakan mereka menjadi lebih dewasa. Seseorang yang telah membangun rumah tangga akan mandapatkan motivasi yang membuatnya mengerahkan kemampuan yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, inilah modal kekayaan yang sangat besar dan merupakan semangat hidup yang sangat berharga. C. Hukum Pernikahan Dengan melihat pada pesan yang disampaikan ayat-ayat di atas, bahwa hakikat dari pernikahan adalah akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang asalnya tidak dibolehkan. Maka boleh diartikan bahwa hukum pernikahan asalnya adalah mubah. Oleh karena pernikahan itu dilaksanakan oleh Rasulullah semasa hidupnya, maka nikah merupakan sunnah Rasul. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhory dalam shahihnya, dari anas bin Malik terkait dengan ayat anjuran nikah di atas. Di dalam Al Qur’an pun Allah banyak menyeru untuk menikah dalam firman-firman-Nya, sebagaimana ayat-ayat yang telah disebutkan di atas. Dengan banyaknya anjuran-anjuran untuk menikah tersebut, dapat dimaknai bahwa pernikahan merupakan perbuatan yang lebih disenangi oleh Allah dan RasulNya. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum asal nikah. Di satu sisi mengatakan bahwa nikah asalnya adalah sunnah. Sebab banyaknya anjuran untuk melakukannya yang terdapat dalam hadits Rasulullah. Namun seruan al Qur’an maupun sunnah tidak mengandung makna wajib. Jumhur ulama menyatakan hukum perkawinan dengan melihat pada keadaan orang-orang tertentu : yakni Sunnah, bagi yang berkeinginan untuk menikah dan mampu untuk melakukannya; Makruh, bagi yang belum mampu, dan belum pantas untuk menikah; Wajib, bagi yang sudah pantas untuk menikah, punya bekal dan mampu serta takut terjerumus dalam kenistaan karena berbuat hina; Haram, bagi mereka yang tidak dapat memenuhi tuntutan syara’ ; Mubah, bagi yang sebenarnya tidak begitu berkeinginan untuk menikah, dan dengan tidak menikahnya itu tidak mendatangkan kemudharatan bagi siapapun. D. Tujuan dan Hikmah Pernikahan Telah tersebutkan dalam surat Ar Ruum ayat 21 bahwa tujuan pernikahan adalah agar kedua mempelai mendapatkan ketentraman, saling cinta mencintai serta saling mengasihi satu sama lain. Agar kerisauan dan keterasingan itu berganti menjadi ketenangan dan kebahagiaan. Serta yang terpenting adalah untuk melangsungkan keturunan yang sah, sebagai generasi penerus. Hikmahnya adalah untuk menjaga kehormatan diri agar tidak terjerumus dalam kenistaan. Selain itu hikmah yang lain adalah hidup menjadi lebih teratur , lebih tenteram, dan semangat hidup menjadi bertambah. ( Lihat; An Nur: 32 ) Kesimpulan Term “ nikah” berasal dari bahasa Arab “ nakaha-yankihu-nakhan” yang artinya mengumpulkan, diartikan bersetubuh. Di dalam Al Qur’an term ini disebutkan beberapa kali, adapun ayat-ayat Al Qur’an yang secara khusus membicarakan tentang “ anjuran menikah “ terdapat dalam 4 ayat yang terangkum dalam 3 surat yakni : ( 4;3 ), ( 24;3,32 ) dan ( 30;21 ). Pernikahan adalah : Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban. Surat Ar Ruum: 21 menjelaskan tentang cara manusia tersebar melalui pernikahan, setelah ayat sebelumnya menjelaskan tentang perkembangbiakan manusia. Dari sini terlihat jelas bahwa dengan menikah ketentraman akan terwujud dan kelangsungan hidup manusia akan terus ada tanpa harus mengalami kekurangan spesies atau kepunahan. Pada ayat selanjutnya ( An Nisa:3 ), dijelaskan di dalamnya prosedur pernikahan sebagai sebuah solusi. Dimana solusi tersebut menyelesaikan problem para wali ( orang tua asuh ) yang mengasuh anak-anak yatim perempuan dan takut berlaku tidak adil terhadap mereka. Dengan menimbang asbabun nuzulnya, ayat ini merupakan jalan keluar atas permasalahan pada saat itu. Dimana banyak laki-laki dewasa yang mengasuh anak yatim yang berharta, lalu mereka menikah dengannya dengan tujuan istrinya yang menafkahinya dan dia pun tidak memperhatikan maharnya. Sehingga penjelasan tentang adab dan tata cara berumah tangga yang baik pun dijelaskan pada ayat berikutnya yakni An Nisa : 4 tentang mahar. Artinya, tidak sekedar menikahi dan menikmati hartanya saja. Adapun keadaan sekufu sangatlah dianjurkan, bahkan diharuskan. Sebab keadaan tidak sekufu akan mempersulit hubungan. Di samping itu sekufulah yang membuat rumah tangga itu menjadi tenteram dan damai. Sebagaimana yang diterangkan dalam An Nur ayat 3. Seorang pezina adalah untuk pezina atau orang musyrik, orang musyrik adalah untuk orang musyrik atau para pezina. Dan seorang pezina tidak dibolehkan_menurut sebagian ulama_menikah dengan muslim yang baik, lantaran tidak sekufu. Konsep sekufu dalam pernikahan dan prioritas yang didahulukan adalah inti dari ayat ini. Seraya di dalamnya mengandung makna ketidakpantasan antara muslim yang taat dan bermaksiat membangun rumah tangga bersama. Disamping itu pada ayat ke-32 dalam surat yang sama menjelaskan perkara perwalian. Dimana seorang wali haruslah menjaga kehormatan anak atau anak asuhnya. Dengan menikahkannya pada orang-orang yang shaleh untuk tujuan yang shaleh pula akan mendapatkan keberkahan hidup. Dalam ayat itu pun dijelaskan bagi siapa yang miskin lalu menikah maka Allah akan menjadikannya kaya. Di sini kaya tidak hanya dimaknai sebatas kekayaan material, tetapi juga immaterial. Seperti, perasaan selalu tentram, semangat bekerja meningkat dan lain-lain. Adalah kewajiban bagi wali/orang tua terhadap anak untuk menikahkan mereka, jika telah dinggap mampu dan sikap wali/orang tua dalam menyeleksi pasangan bagi anaknya. Salah satu hikmah pernikahan adalah janji kekayaan dari Allah, baik kekayaan harta maupun lainnya, seperti semangat hidup. Menikah itu dianjurkan, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits. Meskipun tidak diwajibkan secara langsung, tetapi pernikahan adalah hal yang lebih disukai oleh Allah dan RasulNya. Sehingga para ulama mengklasifikasikan hukum nikah menjadi lima, tergantung pada kondisi personalnya. Adalakalanya hukumnya sunnah, mubah, bisa jadi wajib, makruh bahkan haram sesuai dengan kondisi masing-masing orang. Adapun tujuannya adalah untuk memperoleh ketentraman dan kelangsungan keturunan. Sementara hikmah pernikahan ialah meningkatnya semangat hidup untuk terus maju, meningkatnya etos kerja serta rizkinya menjadi lancar. Saran Penulisan makalah tafsir tematik bertema “ nikah “ ini sangatlah jauh dari kesempurnaan. Karenanya perbaikan dan kritikan sangatlah penulis harapkan untuk memperbaiki karya tulis ini agar lebih baik dan lebih bermanfaat untuk pembaca. Daftar Referensi : Al Alusy, Syihabuddin Mahmud, 2003, Ruuhul Ma’any Juz 11, Beirut: Dar El Fikr Al Barudy, Syeikh Imad Zaky, 2006, Tafsir Wanita alih Bahasa oleh Samsun Rachman, Jakarta: Pustaka Al Kautsar Al Imadi, Abu Suud, Irsyadul Aqly Salim Ila Mazayal Kitabil Karim, disadur dari http://www.altafsir.com. Al Jashosh, 1993, Ahkamul Qur’an Juz 2, Beirut: Dar El Fikr Al Qurtuby, 1995, Jami’ul Ahkamil Qur’an jilid VI, Beirut: Dar El Fikr Ar Razy, Fakhruddin, 2000, Mafatihul Ghaib Juz 9, Beirut: Dar El Kutub Al Ilmiyah Adhwaul Bayan Juz 6, Beirut: Dar El Kutub Al Ilmiyah As Shobuny, Muhammad Ali, 2001, Rawai’ul Bayan Fii Tafsisri Ayatil Ahkam, Beirut : Dar El Kutub As Sya’rawi, Mutawalli, 2003, Tafsir Sya’rawi, Beirut: Dar El Kutub Departemen Agama, 2006, Al Qur’an dan Terjemahnya, Yogjakarta: Diponegoro H.Saleh dan H.A.A.Dahlan, 2004, Asbabun Nuzul, Yogjakarta: Diponegoro Hajjaj, Muslim, 2001, Shahih Muslim, Beirut: Darul Ihyaai At Turats Shihab, M.Quraish, 1999, Tafsir Al MIsbah Vol.2, 9, 11, Jakarta: Lentera Hati Syarifuddin, Amir, 2009, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group Yunus, Mahmud, 1989, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung Zuhaily, Wahbah, 2003. Tafsir Al Munir Jilid VI, Beirut: Dar El Fikr
Biografi “Umar bin Abdul Aziz" ( عمر بن عبد العزيز) Abu Hafzah bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin Abil ash bin Umayyah al-Quraisy, begitulah nama asli beliau. Beliau adalah seorang Khulafaur Rasyidin dan seorang tabi’in yang di segani pada masanya dan dia mempunyai gelar umar II karna karismanya yang menyerupai Umar ibn Al-Khattab dan masih ada hubungan keturunan dengan beliau, ia menjadi kepala nagara yang adil dan sekaligus menjadi ulama yang alim. Beliau dilahirkan di Mesir di daerah Halwan pada waktu ayahnya menjadi Amir disitu pada tahun 61 H. Semasa kecil ia telah hapal al-Qura’an, kemudian ia dikirim ke Madinah oleh ayahnya untuk belajar. Ia belajar al-Qur’an dari Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Ibnu Mas’ud. Umar dibesarkan di Madinah, di bawah bimbingan Ibnu Umar, salah seorang periwayat hadis terbanyak. Ia tinggal di sana sampai kematiannya ayahnya, dimana kemudian ia dipanggil ke Damaskus oleh Abdul-Malik dan menikah dengan anak perempuannya Fatimah. Ayah mertuanya kemudian segera meninggal dan ia diangkat pada tahun 706 sebagai gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid I Hadits-hadits beliau (Umar bin Abdul Aziz) di terima oleh para Tabi’in diantaranya adalah Abu Salamah bin Abdurahman, Abu Bakar Muhammad bin Amr bin Hazm, az-Zuhry, Muhammad bin al-Munkadir, Humaid ar-Thawil dan lain lain. Tidak seperti sebagaian besar penguasa pada saat itu, Umar membentuk sebuah dewan yang kemudian bersama-sama dengannya menjalankan pemerintahan provinsi. Masa di Madinah itu menjadi masa yang jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dimana keluhan-keluhan resmi ke Damaskus berkurang dan dapat diselesaikan di Madinah, sebagai tambahan banyak orang yang berimigrasi ke Madinah dari Iraq, mencari perlindungan dari gubernur mereka yang kejam, Al-Hajjaj bin Yusuf. Hal tersebut menyebabkan kemarahan Al-Hajjaj, dan ia menekan al-Walid I untuk memberhentikan Umar. al-Walid I tunduk kepada tekanan Al-Hajjaj dan memberhentikan Umar dari jabatannya. Tetapi sejak itu, Umar sudah memiliki reputasi yang tinggi di Kekhalifahan Islam pada masa itu. Pada era Al-Walid I ini juga tercatat tentang keputusan khalifah yang kontroversial untuk memperluas area di sekitar masjid Nabawi sehingga rumah Rasulullah ikut direnovasi. Umar membacakan keputusan ini di depan penduduk Madinah termasuk ulama mereka, Said Al Musayyib sehingga banyak dari mereka yang mencucurkan air mata. Berkata Said Al Musayyib: "Sungguh aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya sehingga generasi Islam yang akan datang dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya tata cara hidup beliau yang sederhana Seluruh umat Islam berkumpul di dalam masjid dalam keadaan bertanya-tanya, siapa khalifah mereka yang baru. Raja’ Ibn Haiwah mengumumkan, "Bangunlah wahai Umar bin Abdul-Aziz, sesungguhnya nama engkaulah yang tertulis dalam surat ini". Umar bin Abdul-Aziz bangkit seraya berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai'at yang ada dileherku dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki". Umat tetap menghendaki Umar sebagai khalifah dan Umar menerima dengan hati yang berat, hati yang takut kepada Allah dan tangisan. Segala keistimewaan sebagai khalifah ditolak dan Umar pulang ke rumah. Ketika pulang ke rumah, Umar berfikir tentang tugas baru untuk memerintah seluruh daerah Islam yang luas dalam kelelahan setelah mengurus jenazah Khalifah Sulaiman bin Abdul-Malik. Ia berniat untuk tidur. Pada saat itulah anaknya yang berusia 15 tahun, Abdul-Malik masuk melihat ayahnya dan berkata, "Apakah yang sedang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin?". Umar menjawab, "Wahai anakku, ayahmu letih mengurusi jenazah bapak saudaramu dan ayahmu tidak pernah merasakan keletihan seperti ini". "Jadi apa yang akan engkau perbuat wahai ayah?", Tanya anaknya ingin tahu. Umar membalas, "Ayah akan tidur sebentar hingga masuk waktu zuhur, kemudian ayah akan keluar untuk shalat bersama rakyat". Dan ternyata ketika putranya mengetahui ayahnya Amirul Mukminin yang baru, anaknya pun berkata “Ayah, siapa pula yang menjamin ayah masih hidup sehingga waktu zuhur nanti sedangkan sekarang adalah tanggung jawab Amirul Mukminin mengembalikan hak-hak orang yang dizalimi” Umar ibn Abdul Aziz terus terbangun dan membatalkan niat untuk tidur, beliau memanggil anaknya mendekati beliau, dan beliau mengecup kedua belah mata anaknya sambil berkata “Segala puji bagi Allah yang mengeluarkan dari keturunanku, orang yang menolong aku di atas agamaku” Umar bin Abdul-Aziz wafat disebabkan oleh sakit akibat diracun oleh pembantunya. Umat Islam datang berziarah melihat ke lemahan hidup khalifah sehingga ditegur oleh menteri kepada isterinya, "Gantilah baju khalifah itu", dibalas isterinya, "Itu saja pakaian yang khalifah miliki". Apabila beliau ditanya “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau mau mewasiatkan sesuatu kepada anak-anakmu?” Umar Abdul Aziz menjawab: "Apa yang akan aku berikan? Aku tidak memiliki apa-apa" "Mengapa engkau tinggalkan anak-anakmu dalam keadaan tidak memiliki?" "Jika anak-anakku orang soleh, Allah lah yang menguruskan orang-orang soleh. Jika mereka orang-orang yang tidak soleh, aku tidak mau meninggalkan hartaku di tangan orang yang mendurhakai Allah lalu menggunakan hartaku untuk mendurhakai Allah" Pada waktu lain, Umar bin Abdul-Aziz memanggil semua anaknya dan berkata: "Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan, pertama : menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka, kedua: kamu miskin seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga. Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih surga." Anak-anaknya ditinggalkan tidak berharta dibandingkan anak-anak gubernur lain yang kaya. Setelah kejatuhan Bani Umayyah dan masa-masa setelahnya, keturunan Umar bin Abdul-Aziz adalah golongan yang kaya berkat doa dan tawakkal Umar bin Abdul-Aziz. Beliau wafat pada tahun 101 H