Senja Memerah di Pulau Mandangin
Kidung Cinta Bangsacara-Ragapadm
Menjelang senja, langit
Pulau Mandangin semakin condong ke barat. Matahari pelan-pelan menggelinding ke
batas cakrawala. Bangsacara menyeka sisa darah yang melumuri mata tombaknya. Sejak
pagi hari berburu di hutan Pulau Mandangin ini, ia sudah berhasil mendapatkan empat
ekor kijang. Tinggal menambah satu ekor lagi, sempurnalah ia melaksanakan titah
Prabu Bidarba.
Seorang prajurit
kepatihan mengirim titah itu ke desanya kemarin. Sang Prabu menghendaki lima
ekor kijang dari Pulau Mandangin, untuk hidangan perkawinan dengan selirnya
yang baru. Bukan hal yang mudah menangkap kijang di pulau ini, tapi Bangsacara
sudah sering melakukannya. Jurus melempar tombaknya memang tak tertandingi di
seluruh Kerajaan Madura. Berkat keahliannya itu, Bangsacara sering
mempersembahkan daging kijang yang sangat digemari Sang Prabu, sehingga ia pun menjadi
abdi kesayangan di istana.
Bangsacara berjalan
mengendap-endap di sela pepohonan dan semak-semak hutan. Kedua ekor anjingnya
yang setia pun mengikutinya tanpa suara. Kijang yang diincarnya itu tampak
gelisah, berkali-kali mengangkat kepala, berusaha mencium tanda bahaya di
sekitarnya. Jaraknya tinggal tiga puluhan tombak saja lagi, tapi bila ia
gegabah, kijang itu bisa melesat jauh dalam sekejap. Lebih baik ia menunggu
sebentar, hingga binatang itu tak lagi waspada.
Sebenarnya, pikiran
Bangsacara tak sepenuhnya berada di pulau ini. Bayangan ranjang pengantin, yang
terlalu cepat ditinggalkannya dini hari tadi, senantiasa melintas di bilik
matanya. Aduhai, malam yang hangat itu... begitu singkat rasanya, tapi tiada
sepenggalpun yang hilang dari kenangan. Bahkan ia bisa memutar kembali bayangannya,
detik demi detik. Masih menggema di kepalanya, harum semerbak rambut pengantin itu.
Dan jari-jarinya pun serasa masih menari di halus kulit pualam itu. Sekedar
memikir-kannya saja telah membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Ragapadmi... ahh,
Bangsacara mendesah. Dua purnama yang lalu, ia masih merasa seperti seekor
pungguk ketika memandang putri bulan itu bersanding dengan Prabu Bidarba di
kereta kencananya. Betapa tiap malam ia meremas-remas hatinya sendiri, meratapi
saat-saat ketika bidadari itu sedang terhampar di peraduan Sang Prabu.
Bangsacara pertama
kali bertemu putri itu pada sebuah kapal kandas yang dijarah perompak. Untung,
Bangsacara berhasil menyelamatkannya dari kejahilan para perompak. Sejak
pertama melihatnya, Bangsacara telah terpikat dengan kecantikannya. Sayang, Prabu
Bidarba mendengar kejadian itu, dan memerintahkan agar putri itu dibawa ke
istana. Singkat cerita, putri cantik itu pun dijadikan selir Prabu Bidarba dan diberi
nama : Ragapadmi.
Namun, baru
beberapa hari usai pesta perkawinan, kehebohan melanda Keraton Madura. Wanita
cantik yang entah berasal dari mana itu tiba-tiba terserang penyakit kulit yang
menjijikkan. Kulit di sekujur tubuhnya melepuh, mengelupas, dan berlendir. Wajahnya
pun tak terkecuali. Baunya sangat busuk. Sang Prabu murka dan selir itu pun
diusir dari istana. Banyak yang mengira ia membawa penyakit menular dari negeri
asing, walau ada juga yang bilang bahwa ia diracuni oleh orang yang dengki pada
kecantikannya.
Mendengar kabar
bahwa Selir Ragapadmi diusir dari istana, Bangsacara bergegas menghadap Sang
Prabu. Ia memohon diberi kesempatan mencarikan obat untuk penyakit Ragapadmi.
Sang Prabu mengijinkan, tapi tetap memerintahkan agar Ragapadmi dibawa keluar
istana. Karena tak satupun tabib atau padepokan bersedia merawatnya, Bangsacara
membawa Ragapadmi ke rumah ibunya di desa dekat pantai, jauh dari keraton.
Bangsacara tak
berharap banyak ketika menitipkan Ragapadmi pada ibunya. Benih cinta dalam
hatinya membuat ia tak tega menyaksikan penderitaan wanita itu. Ia hanya
berharap ibunya mau merawatnya hingga penyakit aneh itu membawa ajal bagi
Ragapadmi. Dan seperti yang diminta oleh Bangsacara, ibunya merawat wanita itu
dengan telaten. Setiap hari ibunya memandikan Ragapadmi dengan air kapur dan
meminumkan jamu yang diramunya sendiri.
Beberapa bulan
setelah menyerahkan Ragapadmi pada ibunya, barulah Bangsacara pulang ke desa
menengoknya. Semula ia mengira hanya akan menemui pusara wanita itu. Tapi
betapa terkejutnya ia ketika sampai di rumah. Ada seorang wanita cantik sedang
duduk menyisir rambut di balai-balai bambu depan rumah ibunya... Ragapadmi!
Dalam perawatan
ibunya, Ragapadmi ternyata pulih dengan cepat. Wajahnya yang semula penuh
lendir dan kulit yang terkelupas itu, kini telah kembali bersih dan
berbinar-binar, bahkan lebih cantik dari sebelumnya. Bangsacara terpana, tapi
ia berusaha menyembunyikan perasaannya dan mengatakan akan membawa Ragapadmi
kembali ke istana. Tak disangka, Ragapadmi malah menangis.
“Kakang
Bangsacara... kenapa Kakang begitu tega terhadapku. Cukuplah sekali Kakang
membawaku ke keraton. Cukup sudah penderitaanku. Mengapa Kakang tega membawaku
kembali ke sana....”
Bangsacara terpana
untuk kedua kalinya. Semula ia mengira Ragapadmi akan bahagia bisa kembali ke
lingkungan istana. Selama ini ia mengira Ragapadmi bahagia dengan nasibnya
menjadi istri raja, walaupun selir. Ternyata ia salah. Ragapadmi tak pernah
menikmati kehidupan di istana. Ragapadmi tak pernah bahagia dengan
perkawinannya. Karena tak ada cinta di sana. Cintanya telah tertambat pada
Bangsacara, sejak pertama kali mereka berjumpa.
Kijang incarannya itu
mulai tenang, tak lagi curiga dengan maut yang sedang mengintai. Bangsacara
menimang-nimang tombak di tangannya, bersiap menyerang dengan jurus andalan. Ketika
tiba saat yang tepat, Bangsacara secepat kilat keluar dari tempat
persembunyiannya, berlari ke arah buruannya bagaikan seekor raja hutan. Kedua
ekor anjingnya menggonggong dengan ribut sambil mengepung dari kedua sisi. Kijang
itu tersentak kebingungan, serba salah hendak lari kemana, menjadikannya
sasaran empuk bagi lemparan tombak Bangsacara yang segera meluncur deras. Tak
pernah meleset, selalu akurat dan mematikan.
Kijang itu pun
roboh dengan lengkingan menyayat. Bangsacara berjalan mendekati buruannya
dengan perasaan puas. Sudah lengkap lima ekor kijang, kini ia tinggal
membawanya ke keraton dan bereslah tugasnya. Besok ia bisa kembali lagi ke
desanya, mengunjungi lagi ranjang pengantinnya dan melanjutkan apa yang
tertunda.
“Bangsacara!”
Terdengar suara seseorang menghardik. Bangsacara terlonjak kaget, tak mengira
ada orang lain di hutan itu. “Berhenti kau di situ!”
Bangsacara
celingukan mencari asal suara. Ia semakin terkejut ketika menemukan asal suara
itu... Patih Bangsapati! Dari balik pohon besar, Sang Patih keluar, menenteng
busur dan anak panah. Menyusul, tiga orang prajurit kepatihan keluar dari
semak-semak, semuanya dengan pedang terhunus.
Bangsacara mendadak
berdebar-debar. Ini pasti tentang Ragapadmi, pikirnya. Sejak awal ia sudah
mengkhawatirkan hal ini. Begitu Ragapadmi sembuh dari penyakitnya, seharusnya
Bangsacara segera menyerahkannya pada Prabu Bidarba. Tapi apa mau dikata, cinta
mementahkan segalanya. Pernah terpikir untuk lari saja, bersama Ragapadmi,
entah ke mana asalkan jauh dari Madura. Tapi mengingat ibunya yang lanjut usia,
rencana itu tidak segera terlaksana. Dan lagi, ia tak mengira begitu cepat hal
ini akan diketahui Prabu Bidarba.
Masalah lain adalah
Patih Bangsapati. Bangsacara bukannya tak tahu bahwa Sang Patih itu memendam
dengki kepadanya. Akhir-akhir ini, sebagai patih ia jarang dimintai
pertimbangan oleh Sang Prabu. Prabu Bidarba justru semakin dekat dengan
Bangsacara. Apabila Bangsacara mengembalikan Ragapadmi, tentu Sang Prabu akan
semakin suka padanya. Namun sebaliknya, kini masalah Ragapadmi bisa dipakai Patih
Bangsapati untuk menjatuhkan Bangsacara di mata Sang Prabu. Dan Sang Patih akan
mendapat nama dengan mengembalikan Ragapadmi ke istana.
“Oh, Kanjeng
Patih...,” Bangsacara berlutut memberi hormat, “Ampuni hamba, Kanjeng. Hamba
tidak tahu kalau Kanjeng Patih juga sedang berburu di hutan ini.”
“Jangan banyak
mulut, Bangsacara!” bentak Sang Patih lagi. “Aku datang ke sini untuk
mengakhiri hidupmu!”
Bangsacara
terperanjat. Ia melirik tombaknya, masih tertancap di tubuh kijang buruannya,
sepuluh langkah dari tempatnya berlutut.
“Ampun, Kanjeng...
apa salah hamba?”
“Hmh, pura-pura...
Apa yang sudah kaulakukan dengan Putri Ragapadmi?”
Bangsacara terdiam.
Tak ada gunanya lagi berdalih. Mengganggu selir raja, tak ada hukuman baginya
selain hukuman mati. Lagi, ia melirik tombaknya, menghitung jarak dengan ketiga
pengawal Patih Bangsapati. Kembali melintas bayang-bayang semalam kemesraannya
dengan Raga- padmi. Maafkan aku
Ragapadmi... dunia ini memang bukan milik kita.... Bangsacara menarik nafas
panjang. Merasa tak ada jalan untuk menyelamatkan dirinya dan Ragapadmi, ia pun
nekat.
“Hei... hentikan
dia!” pekik Patih Bangsapati melihat Bangsacara tiba-tiba bergerak cepat.
Ketiga prajurit
kepatihan itu serentak menyerang, menghalangi langkah Bangsacara ke arah tombaknya.
Beberapa sabetan pedang berhasil dihindarinya, tapi beberapa tetap menorehkan
luka di tubuhnya. Melihat darah mengucur dari tubuh tuannya, kedua anjing
Bangsacara menjadi kalap. Anjing-anjing itu menyalak dan menyerang para
prajurit kepatihan. Sejenak perhatian para prajurit itu terpecah, Bangsacara
berhasil mencapai tombaknya. Tapi tak mudah mencabut tombak yang menancap begitu
dalam di tubuh kijang buruannya itu. Ketika Bangsacara sedang berusaha mencabut
tombaknya, tiba-tiba sebatang anak panah menembus punggungnya, panah yang
dilepaskan Patih Bangsapati.
Bangsacara berbalik
ke arah Patih Bangsapati. Ia mengacungkan tombak, maju menyerang Sang Patih tanpa
menghiraukan luka di punggungnya. Patih Bangsapati berlari ketakutan sambil
memanggil para pengawalnya. Bagai memburu seekor kijang, Bangsacara dengan
cepat mendekati Sang Patih dan bersiap melemparkan tombaknya. Tapi tiba-tiba ia
mendengar lolongan menyayat dari salah satu anjingnya. Anjing kesayangannya itu
sedang diinjak oleh salah seorang prajurit kepatihan, dan prajurit itu pun
menebaskan pedang untuk menghentikan lolongan-nya.... Tanpa pikir panjang
Bangsacara mengubah arah lemparan tombaknya. Prajurit itu pun terjengkang .
Melihat temannya menjadi
korban, prajurit yang lain dengan kalap menyerang Bangsacara. Satu tebasan
pedang merobek perutnya, dan Bangsacara pun roboh. Melihat Bangsacara tak
berdaya lagi, Patih Bangsapati mendekatinya. Ia menghunus keris, dan mengakhiri
hidup Bangsacara.
* * *
Ragapadmi mendayung
perahunya sekuat yang dia bisa. Gelombang laut mengombang-ambingkan perahu
kecil itu, membuatnya kewalahan mengendalikan arah. Namun, walau dengan susah
payah, lambat laun Pulau Mandangin kelihatan semakin dekat juga.
Tadi pagi, ia terbangun
dengan sangat gelisah. Mimpi buruk di ujung fajar itu seolah menjadi penutup
yang pahit dari malam hangatnya bersama Bangsacara. Menakutkan, dalam mimpi ia
melihat Prabu Bidarba murka, dan Bangsacara terbujur kaku bersimbah darah.
Lebih cemas lagi ia ketika menyadari bahwa Bangsacara tak lagi berbaring di sisinya.
Ibu Bangsacara
mengatakan bahwa laki-laki itu telah pergi pagi-pagi sekali untuk berburu
kijang di Pulau Mandangin. Walau wanita tua itu berkali-kali meyakinkan bahwa
takkan terjadi apa-apa, karena Bangsacara sudah biasa berburu di sana, tapi
Ragapadmi tetap tak bisa tenang. Mengapa Prabu Bidarba murka? Apakah salah yang
dilakukannya dengan Bangsacara? Bukankah raja itu telah menendangnya keluar
istana, seolah dirinya anjing kudisan?
Ketika matahari
makin bertambah tinggi, kegelisahan itu tak lagi bisa dibendungnya. Ragapadmi
berlari ke dermaga. Ia bermaksud menyusul Bangsacara ke Pulau Mandangin. Tapi
tak ada lagi perahu besar yang akan berangkat ke pulau itu. Ragapadmi hanya
menemukan sebuah perahu kecil, entah milik siapa. Tanpa pikir panjang ia
mendayung sendiri perahu itu ke arah Pulau Mandangin.
Senja telah merah
ketika ia sampai di pantai Pulau Mandangin. Dari pantai terdengar suara anjing
yang melolong-lolong menyayat hati. Anjing-anjing Bangsacara! Dengan beribu
cemas ia berlari ke arah suara lolongan itu. Dan di tengah rerimbunan hutan
Pulau Mandangin ia akhirnya melihat apa yang sudah ia lihat di dalam mimpinya.
Bangsacara
meringkuk di tanah bersimbah darah. Di punggungnya tertancap sebatang anak
panah. Di ulu hatinya terbenam sebilah keris, begitu dalam hingga hanya
terlihat hulu keris itu, yang digenggam erat oleh Bangsacara. Darah menggenang
di tanah, dari luka menganga di perutnya. Tiga orang laki-laki berdiri di
sekitar Bangsacara, dan satu orang lagi terkapar di tempat lain.
“Kakang...!!”
Ragapadmi menjerit histeris. Ia mengham- bur memeluk tubuh Bangsacara yang telah
lunglai tak berdaya. Ketika menyadari bahwa ia berada dalam pelukan kekasihnya,
Bangsacara membuka mata dan tersenyum. Wajahnya pucat pasi kehabisan darah.
“Yayi Ragapadmi...
maafkan aku..,” bisik Bangsacara lemah.
“Kakang! Kakang
Bangsacara!” jerit Ragapadmi. “Jangan tinggalkan aku....”
“Cabut keris ini
Yayi... biarkan aku pergi...”
“Kakang Bangsacara,
kalau Kakang pergi aku akan ikut bersamamu...” Ragapadmi menangis pilu.
Darah menyembur
dari jantung Bangsacara ketika Ragapadmi mencabut keris yang menghujam dadanya.
Kepala lelaki itu pun terkulai, hembusan nafas terakhirnya terbang bersama
nyawanya. Kedua anjing Bangsacara melolong panjang, seolah tahu kepergian
tuannya. Hal yang menakjubkan kemudian terjadi. Kedua anjing itu saling
menggigit leher temannya, darah pun mengucur deras, dan keduanya pun meregang
nyawa, menyusul kepergian tuannya.
Ragapadmi takjub
melihat kelakuan anjing-anjing Bangsacara.
“Aduhai anjing,
kalau kalian saja bisa menunjukkan kesetiaan begitu rupa, apalagi seorang
istri. Kakang Bangsacara, kalau badan kita tak bisa menyatu di dunia, biarlah
darah kita yang menyatu di alam sana, hingga kita terlahir kembali bersama.”
Ragapadmi memandang keris yang berlumuran darah Bangsacara di tangannya.
“Ragapadmi!” seru
Patih Bangsapati. “Bangsacara sudah mati. Kembalilah ke keraton. Bila kau tak
ingin lagi berjumpa Prabu Bidarba, istana kepatihan pun terbuka untukmu. Akan kutinggalkan
semua perempuan, bila kau mau pulang bersamaku ke kepatihan.”
Ragapadmi tak
mendengar semua kata-kata itu. Tanpa sempat dicegah oleh Sang Patih, ia
membenamkan ujung keris itu ke dalam jantungnya. Tanpa jerit, tanpa rintihan.
Kemudian ia roboh, memeluk tubuh kekasihnya, Bangsacara.
Bangsapati diam terpaku.
Senja memerah.
Matahari tenggelam ke pangkuan bumi.
* * *
Catatan :
Pulau Mandangin terletak di
Kabupaten Sampang, Madura. Pulau ini bisa dikunjungi dengan menggunakan perahu
dari Pelabuhan Tanglok selama ± 45 menit. Di pulau ini terdapat situs makam
Bangsacara - Ragapadmi beserta anjingnya yang setia. Kisah Bangsacara-Ragapadmi
diperkirakan terjadi sekitar tahun 1305 Caka (1383 M), pada masa kerajaan
Majapahit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar